Rabu, 25 Maret 2009

Materi Kuliah Theory of Literature [03]

Universitas: Panca Marga
Fakultas: Sastra & Filsafat
Mata Kuliah: Theory of Literature/ Teori Sastra
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pertemuan ke: 3
Pokok Bahasan: New Criticism

NEW CRITICISM

New Criticism (Kritik Sastra Baru) muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1920-an dan terus berkembang sampai dengan tahun 1960-an. Robert Penn Warren, Alan Tate, Cleanth Brooks, W.K. Wimsatt, Jhon Crowe Ransom, dan Monroe Breadsley adalah sedikit nama dari banyak nama yang merupakan tokoh-tokoh dari teori kritik sastra ini.

Pada mulanya, New Criticism muncul sebagai reaksi terhadap teori kritik sejarah sastra dan kritik sastra biografi yang terlalu menempatkan unsur-unsur ekstrinsik dari karya sastra, seperti sejarah dari satu karya sastra atau biografi seorang pengarang, sebagai sesuatu yang penting dalam menganalisis karya sastra, tanpa pernah masuk ke dalam unsur-unsur intrinsik satu karya sastra itu sendiri. New Criticism, berusaha membalik semua itu dengan menempatkan unsur-unsur intrinsik karya sastra sebagai objek penting dalam praktek analisis sastra. Bagi New Criticism, sastra merupakan satu kesatuan yang telah selesai, sebuah gejala estetika yang pada saat penyelesaiannya meninggalkan syarat-syarat subyektifnya, dan hanya dengan menganalisa susunan dan organisasi sebuah karya sastra, dapat diperlihatkan karya seni itu menurut arti yang sesungguhnya.

New Criticism menitikberatkan perhatian mereka pada unsur intrinsik karya sastra, tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik, dan juga tanpa memperhatikan biografi penulisnya. Sastra, dalam pandangan New Criticism, merupakan satu figur spesial, satu objek swadaya (self-sufficient) yang sama solidnya dan bersifat material seperti jambangan atau ikon. Ia adalah sesuatu yang otonomon, mandiri dan berdiri sendiri, serta tidak tergantung pada unsur-unsur lain di luar sastra itu sendiri. Oleh karena itu, sastra, menurut New Criticism, harus menjadi objek dalam dirinya sendiri, ia harus memisahkan diri dari pengarang maupun pembaca. Pendekatan semacam itu membuat New Criticism dikenal sebagai pendekatan yang memiliki sifat ergosentrik. Pendekatan bersifat ergosentrik merupakan pendekatan yang mengarahkan perhatian kepada karya sastra sendiri (ergosentris), lepas dari pengarung pengarangnya (intentional fallacy), riwayat terjadinya serta pendapat pembaca (affective fallacy) dan kaum kritisi (herey of paraphrase).

Sastra, menurut New Criticism, merupakan sesuatu yang dibentuk dengan baik sehingga tak ada satu pun bagiannya yang dapat dihilangkan atau diganti. Ia merupakan satu kesatuan organik yang kompleks dan unik di mana makna harus dicari dalam sintaksis dan semantiknya dengan sarana dan bekal pengetahuan kebahasaan dan kesastraan. Dalam menghadapi karya sastra yang tersedia bagi New Criticism hanya meaning, makna karya itu, dan hanya itulah yang dapat dipahami dan dikupasnya, tanpa jalan lain untuk mengikutsertakan niat atau maksud pengarang (intentional fallacy) karena pengetahuan mengenai riwayat hidup atau pendirian penulis, juga dalam penciptaan karyanya, tersebut tidak membantu untuk memahami karya itu dengan lebih baik, bahkan sering mengelirukan.

New Criticism berpendapat bahwa dalam melakukan pendekatan atau analisis terhadap karya sastra yang diperlukan ialah pendekatan intrinsik yang menekankan struktur karya sastra sendiri. Berdasarkan paradigma ini, maka New Criticism pun menolak emosi atau afeksi, sikap keterharuan pembaca sebagai kriteria atau jalan untuk memahami karya dengan lebih tepat. Menurut mereka, jurang antara emosi pembaca dan makna karya tidak dapat dijembati oleh pengkritik sastra dengan alat yang diberikan kepadanya, yaitu teks karya itu sendiri. Yang ada dan yang tinggal bagi pengkritik sastra hanya kata-kata karya. Jadi, kesan pembaca (affective fallacy) terhadap satu teks sastra pun ditolak karena dianggap dapat menyebabkan kesesatan dalam melakukan analisis.

Untuk itu, New Criticism menyarankan bahwa dalam mendekati atau menganalisis karya sastra yang harus dilakukan pertama kali adalah dengan melakukan pembacaan secara mikroskopik terhadap karya sastra. Metode pembacaan ini dikenal dengan istilah close reading. Close reading merupakan metode pembacaan terhadap karya sastra yang berusaha mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetail. Ini bertujuan agar tak ada satu pun bagian dari karya sastra yang sedang diamati terlepas dari pengamatan, sebab semua bagian dalam karya sastra, sekecil apa pun bagian tersebut, merupakan bagian yang tidak mungkin dipisahkan.

Pembacaan secara close reading membuat karya sastra menjadi hidup, menjadi konkret (concret) dalam benak pembaca. Selain itu, pembacaan dengan metode ini membuat analisis menemukan tekanannya pada kerja yang bersifat empirik, karena ia melakukan observasi langsung terhadap teks dan bukan hal-hal di luar teks. Oleh sebab itu, New Criticism juga mengandaikan adanya empirisme dan konkretisasi dalam melakukan pendekatannya atau kerja analisisnya terhadap satu karya sastra.

Bagi New Criticism, metode pembacaan secara close reading ini bertujuan untuk menemukan atau menggali struktur karya sastra yang terdiri dari ambiguitas, paradoks, dan ironi. Menurut New Criticism, struktur karya sastra adalah struktur dalam tatarannya yang individual. Ia bukanlah 'bentuk' dalam pengertian konvensional di mana bentuk diartikan sebagai amplop yang memuat 'isi'. Ia jelas berada di mana-mana dan terkondisi oleh sifat materi yang ada dalam puisi. Sifat materi menentukan masalah yang perlu dipecahkan, dan pemecahannya ialah penyusunan materi itu.

Struktur, dalam pandangan New Criticism, adalah struktur makna, evaluasi, dan penafsiran; dan prinsip kesatuan yang menjelaskan kelihatan merupakan prinsip menyeimbangkan dan mengharmoniskan konotasi, sikap, dan makna. Dan ia menyatukan hal-hal yang sama dengan hal-hal yang berbeda. Namun, ia tidak menyatukannya dengan suatu proses sederhana yang memungkinkan satu konotasi menghapuskan konotasi lainnya; demikian pula ia tidak mengurangi sikap-sikap yang bertentangan menjadi harmoni melalui proses pengurangan. Struktur tersebut merupakan kesatuan yang positif, tidak negatif; ia tidak merupakan sisa, melainkan suatu harmoni yang dapat diperoleh. Konsep inilah yang menggabungkan kesatuan dan keberagaman yang mengantar New Criticism pada penggunaan yang terbiasa dalam mengkritik istilah-istilah seperti 'ambiguitas', 'paradoks', 'kompleksitas sikap', dan khususnya 'ironi'.

Menurut New Criticism, makna karya sastra bukanlah makna denotasi tapi makna konotasi, karena bahasa sastra berbeda dengan bahasa sains atau bahasa pada umumnya. Bahasa sastra tidak menunjuk langsung, tapi mengandaikan. Pengandaian ini membuat makna karya sastra menjadi sangat luas dan bebas. Oleh karena itu, makna karya sastra adalah makna yang ambigu. Kecenderungan adanya ambiguitas makna ini membuat karya sastra berada pada ketegangan-ketegangan. Ketegangan-ketegangan ini menciptakan sifat paradoks dalam karya sastra. Secara umum, paradoks dapat dipahami sebagai gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks ini menghadirkan gambaran kompleksitas sikap dari karya sastra, juga melahirkan ironi.

Dalam ironi, segala sesuatunya bermakna berlawanan dengan makna sesungguhnya. Ironi ini banyak bentuknya, ada ironi verbal yang merupakan lawan atau kenalikan dari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksud sesungguhnya. Ada ironi dramatik yang merupakan lawan atau kebalikan dari apa yang diketahui tokoh dalam satu karya sastra dan apa yang diketahui oleh pembaca. Dan yang terakhir ada ironi situasi yang merupakan lawan atau kebalikan antara harapan atau prasangka dan hasil dari harapan atau prasangka tersebut.

Untuk menciptakan ambiguitas, paradoks, ironi dan kompleksitas sikap tersebut, karya sastra, menurut New Criticism, senantiasa menggunakan bahasa kiasan, baik apakah itu berupa metafora, yang merupakan perbandingan antara satu objek dengan objek lainnya tanpa penggunaan kata pembanding, ataupun simile, yang merupakan pembadingan antara objek satu dengan lainnya dengan menggunakan kata-kata pembanding. Keberadaan bahasa kiasan ini pula yang membuat makna dari satu karya sastra senantiasa bersifat konotasi bukan denotasi.

Melihat kerja dari New Criticism tersebut, maka tidak mengherankan apabila New Criticism menganggap bahwa dalam karya sastra antara bentuk dan isi merupakan satu kesatuan yang bulat. Dan setiap bentuk yang ada pada karya sastra senantiasa tunduk pada makna. Karena itu, bagi New Criticism, adalah penting untuk mencari makna dari satu karya sastra sebab dengan menemukan makna dari satu karya sastra, bentuk dari satu karya sastra tersebut juga dapat dikenali.

Pendekatan yang menitikberatkan secara intriksik inilah yang membuat New Criticism menjadi sangat populer di kalangan akademisi. Karena pendekatan ini menyediakan metode pedadogis yang cocok bagi kalangan akademisi.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. KA,mau tanya kalo new criticism ini bisa kah untuk novel atau short story,sedangkan NC fokusnya kan kata demi kata yang mendetail,,thanks

    BalasHapus