Kamis, 08 Oktober 2009

Silabus Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Modern

SILABUS

UNIVERSITAS : PANCA MARGA
FAKULTAS : SASTRA DAN FILSAFAT
PROGRAM STUDI : SASTRA INGGRIS
MATA KULIAH : SEJARAH PEMIKIRAN MODERN
DOSEN : INDRA TJAHYADI, S.S
KODE MATA KULIAH : SPB - 7431
BOBOT SKS : 2 SKS
JENJANG STUDI : STRATA 1

I. Deskripsi Mata Kuliah

Sebagaimana namanya, Sejarah Pemikiran Modern (SPM) adalah sebidang ilmu yang mencoba melihat pemikiran modern melalui faktor kesejarahannya. Dalam SPM yang coba dipahami dan dipelajari bukan mengenai pemikirannya saja, melainkan juga faktor-faktor kesejarahan yang melandasi munculnya sebuah pemikiran. Maka faktor kronologis muncul dan terbentuk sebuah pemikiran menjadi hal yang penting. Sebab, bagaimana pun juga, yang namanya sejarah senantiasa mengacu pada urutan waktu yang runtut, runut atau kronologis.

II. Tujuan Mata Kuliah

1. Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan awal perkembangan abad modern.
2. Mahasiswa memahami pemikiran dari para filosof abad modern.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan tokoh-tokoh filosof yang menjadi pelopor pada pemikiran abad modern.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan aliran-aliran yang muncul pada abad modern.

III. Pokok-pokok Materi Perkuliahan

a. Pendahuluan
- Apakah SPM itu?
b. Filsafat Jaman Kuno (600 SM - 400 M)
- Filsafat pra Sokrates
- Jaman Keemasan Yunani
- Jaman Hellenisme
c. Filsafat Jaman Patristik dan Skolastik (400 - 1500 M)
- Pemikiran para Bapa Gereja
- Puncak Filsafat Abad Pertengahan dalam Skolastik
d. Filsafat Jaman Modern (1500 - 1800 M)
- Jaman Renesanse
- Jaman Barok
- Jaman Fajar Budi
- Jaman Romantik
e. Filsafat Jaman Sekarang
- Filsafat abad 19 s/d sekarang

IV. Metode Perkuliahan

1. Ceramah
2. Tanya Jawab
3. Diskusi
4. Tes Kemampuan
5. Penulisan Makalah

V. Evaluasi

1. Akumulasi dan proporsi kehadiran
2. Tes Kemampuan
3. Makalah dan laporan kajian buku
4. Keaktivan dalam diskusi
5. Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester

Buku Rujukan

Bertens, DR. K.. 1993. Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius: Yogyakarta

Gaarder, Jostein. 1996. Dunia Sophie. Mizan: Bandung

Hadiwijono, DR. Harun. 2003. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Kanisius: Yogyakarta

___________________. 2003. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius: Yogyakarta


Hamersma, Harry. 1992. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Gramedia: Jakarta

_______________. 1995. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Kanisius: Yogyakarta

Hassan, Fuad. 2005. Pengantar Filsafat Barat. Pustaka Jaya: Jakarta

Hatta, Mogammad. 1986. Alam Pikiran Yunani. UI Press: Jakarta

Poedjawijatna, Prof. I.R.. 1990. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat.
Rineka Cipta: Jakarta

Suhartono, Suparlan. 2005. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern. Ar-Ruzz: Jogjakarta

Sutrisno, FX. Mudji & F. Budi Hardiman. 2002. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman.
Kanisius: Jogjakarta

Van Der Weij, Dr. P.A.. 1991. Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia. Gramedia: Jakarta

Silabus Mata Kuliah Sociology of Literature

SILABUS

UNIVERSITAS : PANCA MARGA
FAKULTAS : SASTRA DAN FILSAFAT
PROGRAM STUDI : SASTRA INGGRIS
MATAKULIAH : SOCIOLOGY OF LITERATURE
DOSEN PENGAMPU : INDRA TJAHYADI, S.S
KODE MATAKULIAH : SKS - 7655
BOBOT SKS : 2 SKS
JENJANG STUDI : STRATA-1


Deskripsi Matakuliah:
Matakuliah Sociology of Literature ini diberikan kepada mahasiswa sebagai suatu ilmu yang membuat mereka mampu menikmati, mengapresiasi, memahami, menganalisis dan membuat kritik sastra, terutama sastra Inggris, dengan pendekatan sosiologis, terhadap segala fenomena sosial yang termuat didalam karya sastra.

Tujuan Matakuliah:
Setelah menempuh matakuliah Sociology of Literature ini mahasiswa diharapkan mampu menganalisis karya sastra Inggris baik prosa, drama ataupun puisi dengan pendekatan sosiologi sastra. Tingkat pencapaian diharapkan 60 % mengingat sociology sastra merupakan satu model pendekatan disamping pendekatan lain.

Garis-garis Pokok Perkuliahan
1. Apakah Sosiologi Itu?
2. Apakah Sastra Itu?
3. Bagaimanakah Hubungan Sastra dengan Masyarakat?
4. Apakah Sosiologi Sastra Itu?
5. Beberapa Teori dalam Sosiologi Sastra

Metode Perkuliahan
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
3. Diskusi
4. Tes Kemampuan
5. Penulisan Makalah

Evaluasi
1. Akumulasi dan proporsi kehadiran
2. Tes Kemampuan
3. Makalah dan laporan kajian buku
4. Keaktivan dalam diskusi
5. Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester

Referensi Utama

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Goldman, Lucien. 1981. Method in the Sociology of Literature. Transleted and Editted by
William Q. Boelhower. Oxford: Basil Blackwell

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani
Budianta. Jakarta: Gramedia.


Silabus Mata Kuliah Bahasa Indonesia 2

SILABUS

UNIVERSITAS: PANCA MARGA
FAKULTAS: SASTRA DAN FILSAFAT
PROGRAM STUDI: SASTRA INGGRIS
MATAKULIAH: BAHASA INDONESIA 2
DOSEN: INDRA TJAHYADI, S.S
KODE MATA KULIAH: SPK - 7107
BOBOT SKS: 2 SKS
JENJANG STUDI: STRATA 1


I. Deskripsi Mata Kuliah
Bahasa Indonesia 2 merupakan mata kuliah yang didesain agar mahasiswa dengan menekankan keterampilan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam ranah membaca, berbicara, menyimak, dan menulis.

II. Tujuan Mata Kuliah
Mata kuliah ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus, sbb:
1. Tujuan Umum:
a. Menumbuhkan kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan dapat mendorong mahasiswa memelihara bahasa Indonesia.
b. Menumbuhkan kebanggan terhadap bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan mampu mendorong mahasiswa mengutamakan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas bangsa.
c. Menumbuhkan dan memelihara kesadaran akan adanya norma bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan agar mahasiswa terdorong untuk menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku.
2. Tujuan Khusus:
Secara khusus mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa, calon sarjana, terampil dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik apakah itu secara lisan, ataupun tertulis, sebagai pengungkapan gagasan ilmiah.

III. Garis-garis Pokok Perkuliahan
1. Penalaran dalam Bahasa
1. 1 Pengertian Penalaran
1. 1. 1 Penalaran Induktif
1. 1. 1 Penalaran Deduktif
2. Dasar-dasar Penulisan Karangan Ilmiah
2. 1 Kata
2. 2 Kalimat Efektif
2. 3 Paragraf
2. 4 Tema dan Topik
3. Sistematika Penulisan Karangan Ilmiah
3. 1 Struktur Karangan Ilmiah
3. 2 Kutipan dan Catatan Kaki
3. 3 Daftar Pustaka

Metode Perkuliahan
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
3. Diskusi
4. Tes Kemampuan
5. Penulisan Makalah

Evaluasi
1. Akumulasi dan proporsi kehadiran
2. Tes Kemampuan
3. Makalah dan laporan kajian buku
4. Keaktivan dalam diskusi
5. Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester

Daftar Buku Referensi

Referensi Utama

Keraf, Gorys. 1989. Tata Bahasa Indonesia. Nusa Indah: NTT

___________. 1989. Komposisi. Nusa Indah: NTT

Rahayu, Minto. 2007. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. 2007. Grasindo: Jakarta

Suwignyo, Heri & Anang Santoso. 2008. Bahasa Indonesia Keilmuan. UMM Press:
Malang

Referensi Tambahan

Alisjahbana, S. Takdir. 1986. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Dian Rakyat: Jakarta

Arifin, E. Zaenal & S. Amran Tsasai. 1996. Cermat Berbahasa Indonesia. Akapres:
Jakarta

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Rineka Cipta: Jakarta

Djuharie, O. Setiawan. 2001. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi. Yrama
Widya: Bandung


Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Lisnguistik (Edisi Ketiga). Gramedia: Jakarta

Mustakim. 1994. Membina Kemampuan Berbahasa: Panduan ke Arah Kemahiran
Berbahasa. Gramedia: Jakarta

Nazar, Noerzisri A.. 2004. Bahasa Indonesia dalam Karangan Ilmiah. Humaniora:
Bandung

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan. Balai Pustaka: Jakarta

Samsuri. 1991. Analisis Bahasa. Penerbit Erlangga: Jakarta

Surakhmad, Winarno. 1988. Paper, Skripsi, Thesis, Disertasi: Buku Pegangan. Tarsito:
Bandung

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Balai Pustaka: Jakarta

Rabu, 15 April 2009

Materi Kuliah Bahasa Indonesia 1 [06]

Universitas: Panca Marga
Fakultas: Sastra & Filsafat
Materi Perkuliahan: Bahasa Indonesia 1
Pertemuan ke: 6
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S
Pokok Bahasan: Karangan Ilmiah
Sub Pokok Bahasan: 1. Pengertian Karangan Ilmiah,
2. Tujuan Penulisan Karangan Ilmiah, 3. Jenis Karangan Ilmiah


KARANGAN ILMIAH

I. Pengertian Karangan Ilmiah

Perguruan tinggi merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, perguruan tinggi dipenuhi dengan kegiatan ilmiah. Sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, kedudukan karangan ilmiah di perguruan tinggi sangat penting, sebab karangan ilmiah merupakan bagian dari tuntutan formal akademik, dan ia merupakan satu ciri pemerlain dari suasana ilmiah akademisi.

Di perguruan tinggi, mahasiswa diharapkan tidak hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi produsen ilmu pengetahuan, oleh karena itu penulisan karangan ilmiah menjadi kegiatan yang harus dilakukan oleh mahasiswa di perguruan tinggi. Artinya, mahasiswa bukan saja dapat membaca tulisan-tulisan ilmiah, tetapi juga harus dapat menulis sendiri karangan-karangan yang bersifat ilmiah. Jadi, menulis karangan ilmiah dapat dikatakan merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dalam seluruh proses pembelajara yang dialami setiap mahasiswa.

Karangan ilmiah adalah karya tulis ilmiah yang bentuk, isi, dan bahasanya menggunakan kaidah-kaidah keilmuan. Ia merupakan hasil cipta tulis yang telah diakui dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi atau seni yang ditulis atau dikerjakan sesuai dengan tata cara ilmiah dan mengikuti pedoman atau konvensi ilmiah yang telah disepakati atau ditetapkan.

Karena karangan ilmiah berisi serangkaian hasil pemikiran yang diperoleh sesuai dengan sifat keilmuannya., umumnya, ditulis berdasarkan hasil-hasil pemikiran dan perenungan sendiri, serta kesimpulan dan pendapat-pendapat sendiri. Karangan ilmiah senantiasa didasari oleh hasil pengamatan, peninjauan, penelitian dalam bidang tertentu, disusun menurut metode tertentu dengan sistematika penulisan yang bersantun bahasa dan isinya dapat dipertanggungjawabkan kebenaran keilmiahannya.

Setiap karangan ilmiah memiliki ciri-cirinya yang meliputi:
a. menggunakan bahasa baku dalam penulisannya, dan
b. mengandung syarat kebenaran ilmiah.

Menurut Rahayu (2007: 55-56), syarat kebenaran ilmiah itu meliputi koherensi, korispondensi dan pragmatis. Koherensi dalam artian bahwa penyataan-pernyataan yang dibutnya koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Korespondensi berarti suatu pernyataan dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandungnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut atau sesuai dengan faktanya. Dan pragramtis berarti pernytaan dianggap benar karena pernyataan tersebut memiliki sifat pragmatis atau fungsional dalam kehidupan praktis, dapat dipraktekkan dan didayagunakan bagi kehidupan manusia di dunia.

II. Tujuan Penulisan Karangan Ilmiah

Penulisan karangan ilmiah memiliki beberapa tujuan. Secara umum, menurut Surakhmad (1988: 9), penulisan karangan ilmiah memiliki tujuan melatih seseorang untuk menyusun hasil pemikiran dan hasil penyelidikannya menurut cara-cara yang lazim dipergunakan oleh sarjana-sarjana dalam dunia ilmu pengetahuan, dan memberi kesempatan kepada setiap orang untuk dapat mengikuti uraian dan data yang dikemukakan dalam laporan ilmiah. Secara spesifik, Surakhmad berpendapat (1988: 11), karangan ilmiah memiliki tujuan melaporkan keterangan dan pikiran secara jelas, ringkas dan tegas.

III. Jenis-jenis Karangan Ilmiah

Dilihat dari tujuan penulisannya, merujuk pada Djuharie (2001: 9), karangan ilmiah dapat dibedakan ke dalam dua jenis. Pertama adalah untuk memenuhi tugas-tugas perkuliahan, seperti makalah dan laporan buku atau laporan bab. Kedua adalah karangan ilmuah yang merupakan syarat yang dituntut dari mahasiswa ketika menyelesaikan satu program studi, seperti skripsi, tesis, dan disertasi.

III. 1. Makalah

Makalah, merujuk pada Djuharie (2001: 11), merupakan karangan ilmiah mengenai suatu topik tertentu yang tercakup dalam ruang lingkup suatu perkuliahan. Makalah merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan suatu perkuliahan.

Menurut Djuharie (2001: 11), makalah memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Merupakan hasil kajian literature atau laporan pelaksanaan suatu kehiatan lapangan yang sesuai dengan cakupan permalsalahan suatu perkuliahan.
b. Mendemonstrasikan pemahaman mahawasiswa tentang permasalahan teoritik yang dikaji atau kemampuan mahasiswa dalam menerapkan suatu prosedur, prinsip, atau teori yang berhubungan dengan perkuliahan.
c. Menunjukkan kemampuan terhadap isi dari berbagai sumber yang digunakan.
d. Mendemonstrasikan kemampuan meramu berbagai sumber informasi dalam satu kesatuan sintesis yang utuh.

Secara umum, Djuharie berpendapat (2001: 12) terdapat dua jenis makalah yang berlaku di perguruan tinggi, yakni makalah biasa (common paper) dan makalah posisi (position paper).

Makalah biasa (common paper) adalah makalah yang dibuat mahahasiswa dalam bentuk yang deskriptif. Makalah jenis ini dibuat mahasiswa untuk menunjukkan pemahamannya terhadap permaslahan yang dibahas. Dalam makalah jenis ini, mahasiswa diperkenan mengemukakan berbagai aliran atau pandangan yang ada tentang masalah yang dikaji. Dalam makalah jenis ini, mahasiswa boleh memberikan pendapat baik apakah itu dalam bentuk kritik atau saran mengenai aliran atau pendapat yang dikemukakan. Tetapi ia tidak perlu memihak pada salah satu aliran atau pendapat tertentu. Dengan demikian, mahasiswa atau penyusun makalah tidak perlu berargumentasi mempertahankan pendapat tersebut.

Selain makalah biasa (common paper), juga terdapat makalah jenis makalah posisi (position paper). Makalah posisi merupakan makalah yang dibuat oleh mahasiswa untuk menunjukkan posisi teoritiknya dalam suatu kajian. Dalam makalah jenis ini, mahasiswa diminta untuk tidak saja menunjukkan penguasaan pengetahuan tertentu, tetapi juga dituntut untuk dapat menunjukkan di pihak mana ia berdiri.

Agar dapat membuat makalah jenis makalah posisi, mahasiswa harus membaca berbagai sumber dari berbagai aliran tentang topik yang sedang dibahas. Dari bahasan tersebut, mungkin saja mahasiswa dapat memihak salah satu aliran yang ada tetapi mungkin pula dia membuat suatu sintesa dari berbagai pendapat yang ada. Jadi, kemampuan analisis, sintesis dan evaluasi merupakan kemampuan mutlak yang harus dikuasai oleh mahasiswa dalam membuat makalah jenis ini, sebab dengan kemampuan-kemampuan tersebut makalah jenis ini dapat dihasilkan.

Baik makalah biasa atau makalah posisi, merujuk pada Djuharie (2001: 13), memiliki sistematika yang terdiri atas: pendahuluan (bagian tempat dikemukakannya persoalan yang akan dibahas), isi (tempat didemonstrasikannya kemampuan mahasiswa dalam menjawab masalah yang diajukan), dan kesimpuan (bagian yang merupakan tempat disimpulkannya makna yang diberikan penulis terhadap hasil diskusi/ uraian yang telah dilakukannya dalam bagian isi).

III. 2 Laporan Buku

Laporan buku atau laporan bab, menurut Djuharie (2001: 14), pada dasarnya adalah karangan ilmiah yang mendemonstrasikan pemahaman mahasiswa terhadap isi buku tau bab yang dilaporkan. Dalam bentuknya yang lebih tinggi, laporan buku atau laporan bab juga mendemonstrasikan kemampuan analisis dan evaluatif mahasiswa. Oleh karena itu, laporan buku atau laporan bab bukanlah ringkasan atau terjemahan dari buku atau bab yang dilaporkan.

Dalam membuat laporan jenis ini, mahasiswa diperbolehkan mengutip beberapa bagian dari buku atau bab yang dibahasnya. Kutipan tersebut sifatnya hanyalah untuk mendukung atau memperkuat pendapat pelapor tentang isi dari bab atau buku yang dibahasnya. Kutipan tersebut tidak boleh menjadi sesuatu yang dominan dalam laporan yang disampaikannya.

Dalam laporan tersebut, mahasiswa diharuskan untuk merumuskan isi pokok-pokok pemikiran dari buku atau bab yang bersangkutan, serta komentar terhadap isi buku yang dilaporkan. Rumusan isi pokok tersebut meliputi permasalahan yang diajukan pengarang, cara pengarang menyelesaikan permasalahan yang disajikan, konsep teori yang dikembangkan dalam buku atau bab tersebut, serta ciri khas pendapat pengarang. Dalam hal laporan bab, harus juga dinyatakan kedudukan bab tersebut dalam keseluruhan isi buku.

Djuharie berpendapat (2001: 14), laporan buku memiliki sistematika penyusunan yang terdiri dari: pendahuluan (memberikan gambaran keadaan buku atau bab yang dilaporkan), isi buku atau isi bab (mengemukakan isi dari buku atau bab yang dilaporkan sebagai bukti pemahaman pelapor terhadap buku atau bab yang dilaporkan), komentar (komentar pelapor terhadap isi buku atau isi bab yang dilaporkan), dan kesimpulan (kesimpulan tentang buku atau bab yang dilaporkan atau implikasi terhadap studi yang sedang dipelajari).

III. 3 Skripsi

Skripsi, merujuk Djuharie (2001: 17), merupakan karangan ilmiah akhir seorang mahasiswa dalam menyelesaikan program Strata 1 (S1). Skripsi merupakan bukti kemampuan akademik mahasiswa yang bersangkutan dalam penelitian yang berhubungan dengan masalah pendidikan sesuai dengan bidang studinya. Skripsi disusun dan dipertahankan untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu.

Menurut Djuharie (2001: 17-19), dalam membuat skripsi mahasiswa biasanya melalui tiga tahapan, meiputi tahap persiapan, tahap penelitian dan bimbingan, dan tahap penyelesaian akhir. Tahap persiapan adalah tahap di mana mahasiswa sebagai calon Sarjana Strata Satu diwajibkan untuk menyusun usulan rancangan penulisan skripsi. Usulan rancangan penulisan skripsi ini memuat: judul skripsi, latar belakang masalah, identifikasi masalah termasuk pertanyaan penelitian, variable penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, batasan istilah, asumsi dan hipotesis, ringkasan tinjauan teoritis dari buku jurnal dan laporan penelitian yang relevan, metodologi yang mencakup sample, instrumen, dan teknik analisis, sistematika penulisan, dan agenda kegiatan penelitian.

Pada tahap persiapan ini kandidat dianjurkan untuk melakukan konsultasi atau diskusi dengan dosen yang memiliki spesialisasi dalam bidang kajian yang bersangkutan. Tujuannya adalah untuk memantapkan judul, permasalahan serta merodologi penelitian yang dicanangkan. Sehingga kandidat tidak hanya mendapatkan pengesahan, tetapi juga mendapatkan persetujuan dari pembimbingnya dengan dikeluarkannya SK Dekan tentang pembimbing.

Tahap berikutnya dalam membuat skripsi adalah tahap pelaksanaan penelitian dan bimbingan. Dalam tahap ini, setelah dikeluarkannya surat keputusan pengangkatan pembimbing, mahasiswa atau calon sarjana strata satu mulai bekerja di bawah bimbingan pembimbing yang telah ditunjuk. Apabila seorang mahasiswa keberatan atas seorang pembimbing yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan penggantian kepada ketua jurusan atau program studi.

Berdasarkan kesepakatan pembimbing dan mahasiswa peneliti, kegiatan-kegiatan penelitian dilaksanakan selama proses penelitian yang kemudian dilanjutkan dengan proses penulisan. Setiap hasil penelitian dan penulisan diajukan pada pertemuan antara pembimbing dan mahasiswa peneliti.

III. 4 Tesis

Tesis, menurut Djuharie (2001: 19) merupakan karangan ilmiah resmi akhir seorang mahasiswa dalam menyelesaikan program studi Strata Dua. Tesis merupakan bukti kemampuan yang bersangkutan dalam penelitian pengembangan ilmu pada salah satu disiplin ilmu. Tesis disusun dan dipertahankan untuk memperoleh gelar Master atau Magister.

Menurut Djuharie (2001: 19-20), tesis memiliki karakteristik sebagai berikut yang berfokus pada kajian mengenai salah satu isu sentral yang tercakup dalam salah satu disiplin ilmu, sesuai dengan disiplin yang dipelajari; merupakan pengujian empirik terhadap posisi teoritik tertentu dalam disiplin ilmu yang dipelajari, walaupun tidak harus menemukan suatu penemuan baru; menggunakan data primer (data yang dikumpulkan dari lapangan untuk penelitian lapangan) sebagai data utama, sedang untuk penelitian bibliografi, digunakan sumber yang otentik; dan, ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

III. 5 Disertasi

Disertasi, Djuharie berpendapat (2001: 20), merupakan karangan ilmiah resmi akhir seorang mahasiswa dalam menyelesaikan program Strata Tiga. Disertasi merupakan bukti kemampuan yang bersangkutan dalam penelitian yang berhubungan dengan penemuan baru dalam salah satu disiplin ilmu. Disertasi disusun dan dipertahankan untuk memperoleh gelar Doktor.

Menurut Djuharie (2001: 21), disertasi memiliki beberapa karakteristik, yakni: berfokus pada kajian mengenai salah satu isi disiplin ilmu yang sesuai dengan disiplin yang dipelajaro, kupasannya berfokus pada penemuan sesuatu yang baru dalam disiplin ilmu yang dikaji secara mendalam, menggunakan data primer sebagai data utama, dan ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Materi Kuliah Bahasa Indonesia 1 [05]

Universitas: Panca Marga
Fakultas: Sastra dan Filsafat
Program Studi: Sastra Inggris
Materi Perkuliahan: Bahasa Indonesia 1
Pertemuan ke: 5
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S
Pokok Bahasan: Keberadaan Bahasa Indonesia Ilmiah
Sub Pokok Bahasan: 1. Pengertian Bahasa Indonesia Ilmiah,
2. Ciri dan Karakter Bahasa Indonesia Ilmiah

KEBERADAAN BAHASA INDONESIA ILMIAH

I. Pengertian Bahasa Indonesia Ilmiah

Bahasa Indonesia Ilmiah adalah ragam bahasa Indonesia yang digunakan untuk kegiatan ilmiah oleh kelompok masyarakat terpelajar. Kegiatan ilmiah biasanya bersifat resmi. Sebagai kegiatan yang bersifat resmi, ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam kegiatan ini adalah ragam bahasa Indonesia baku. Jadi, bahasa Indonesia ilmiah adalah ragam bahasa Indonesia baku yang digunakan untuk kegiatan ilmiah oleh kelompok masyarakat terpelajar.

Meski sama-sama baku, tetapi ada perbedaan dalam penggunaan bahasa Indonesia baku untuk kegiatan kenegaran dengan untuk kegiatan ilmiah. Dalam kegiatan ilmiah, penggunaan bahasa Indonesia yang baku harus sesuai dengan sifat keilmuan yang meliputi: benar, logis cermat dan sistematis. Selain itu, menurut Nazar (2004: 8), penggunaan bahasa Indonesia dalam kegiatan ilmiah, baik apakah itu dalam bentuk tulis maupun lisan, yang juga harus diperhatikan adalah kelengkapan, kecermatan, dan kejelasan pengungkapan ide. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya salah tafsir dalam kegiatan ilmiah.

II. Ciri dan Karakter Bahasa Indonesia Ilmiah

Setiap ragam bahasa memiliki ciri khasnya masing-masing. Menurut Nazar (2004: 9), ciri ragam Bahasa Indonesia Ilmiah sebagai berikut:
1. Kaidah bahasa Indonesia yang digunakan harus benar sesuai dengan kaidah pada bahasa Indonesia baku, baik kaidah tata ejaan maupun tata bahasa (pembentukan kata, frasa, klausa, kalimat, dan paragraf).
2. Ide yang diungkapkan harus benar, sesuai dengan fakta yang dapat diterima akal sehat (logis).
3. Ide yang diungkapkan harus tepat dan hanya mengandung satu makna. Hal ini tergantung pada ketepatan memilih kata dan penyusunan struktur kalimat. Jadi, kalimat yang digunakan efektif.
4. Kata yang dipilih harus bernilai denotatif yaitu makna yang sebenarnya.
5. Ide diungkapkan dalam kalimat harus padat isi/ bernas. Oleh sebab itu, penggunaan kata dalam kalimat seperlunya, tetapi pemilihannya tepat.
6. Pengungkapan ide dalam kalimat ataupun alinea harus lugas yaitu langsung menuju pada sasaran.
7. Unsur ide dalam kalimat ataupun alinea diungkapkan secara runtun dan sistematis.
8. Ide yang diungkapkan dalam kalimat harus jelas sehingga tidak menimbulkan salah tafsir.

Selain ciri, ragam bahasa Indonesia yang digunakan untuk kegiatan keilmuan tersebut juga memiliki karakteristik. Menurut Suwignyo (2008: 11), bahasa Indonesia untuk kegiatan keilmuan memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Objektif. Dalam artian kata-kata yang digunakan harus netral/ tidak memihak dan berorientasi pada gagasan/ objeknya.
2. Ringkas dan Jelas.Komunikasi keilmuan adalah komunikasi lugas dan langsung pada inti informasi. Oleh sebab itu unsur bahasa yang digunakan juga lugas dengan menghindari kata-kata metaforis atau kata-kata konotatif. Komunikasi keilmuan harus langsung pada inti informasi dengan cara menggunakan unsur bahasa.
3. Cendekia. Dalam artian, kecermatan dalam pemilihan kata. Penulis harus mampu memilih kata dengan cermat sehingga pernyataannya terbentuk dengan tepat, cemat, logis, dan abstrak.
4. Formal. Artinya, bahasa Indonesia yang digunakan untuk kegiatan keilmuan haruslah bersifat formal.
5. Konsisten/ Taat Asas. Penggunaan unsur bahasa dalam karya keilmuan digunakan secara konsisten. Unsur kebahasaan yang dimaksud adalah kosakata/ istilah, bentukan kata, dan penggunaan singakatan. Dalam karya keilmuan jika sebuah istilah atau kata digunakan maka selanjutnya istilah/kata tersebut digunakan secara konsisten.

Mata Kuliah Bahasa Indonesia 1 [04]

Universitas: Panca Marga
Fakultas: Sastra dan Filsafat
Program Studi: Sastra Inggris
Materi Perkuliahan: Bahasa Indonesia 1
Pertemuan ke: 4
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pokok Bahasan: Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Sub Pokok Bahasan: 1. Pengertian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan,
2. Kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN

I. Pengertian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

Ejaan tidak hanya berkaitan dengan cara mengeja suatu kata, tapi juga berkaitan dengan cara mengatur penulisan huruf menjadi satuan yang lebih besar, misalnya kata, kelompok kata atau kalimat. Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaimana antarhubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan dan penggabungannya dalam suatu bahasa). Ia merupakan ketentuan yang mengatur penulisan huruf menjadi satuan yang lebih besar berikut penggunaan tanda bacanya.

Saat ini bahasa Indonesia menggunakan sistem Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan sebagai sistem tatabahasa yang resmi. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan tidak hanya meliputi pemakaian huruf, pemakaian huruf kapital dan huruf miring, penulisan kata, penulisan unsur serapan dan pemakaian tanda baca saja, melainkan juga meliputi pedoman umum pembentukan istilah dan pedoman pemenggalan kata.

Secara defenitif, Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah sistem ejaan bahasa Indonesia yang didasarkan pada Keputusan Presiden No. 57, tahun 1972 yang diresmikan pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Sistem ejaan ini, pada mulanya, disebarkan melalui buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Buku kecil ini merupakan buku patokan pemakaian sistem ejaan ini. Tetapi, di kemudian hari, karena buku penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Kemudian, pada Tahun 1987, kedua buku pedoman tersebut direvisi. Kemudian, edisi revisi dikuatkan dengan Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.

II. Kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

Sebelum diberlakukannya sistem ejaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dalam sistem tatabahasa bahasa Indonesia, ada beberapa sistem ejaan yang berlaku dalam tatabahasa bahasa Indonesia. Pada tahun 1901 ditetapkan sistem ejaan van Ophuijsen sebagai sistem ejaan yang berlaku resmi di Indonesia. Ejaan van Ophuijsen merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Perancang ejaan ini adalah seorang berkebangsaan Belana, vam Ophuijsen, dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.

Sistem ejaan ini berbeda dengan sistem ejaan dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Berbeda dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang menggunakan huruf y dalam menuliskan kata-kata yang, payah, atau sayang, Ejaan van Ophuijsen masih menggunakan huruf j untuk menuliskan kata-kata tersebut. Sementara untuk menuliskan kata-kata seperti guru, itu, umur, ejaan van Ophuijsen tidak menggunakan huruf u melainkan menggunakan huruf oe.

Setelah menggunakannya lebih dari empat puluh tahun lamanya, akhirnya ejaan van Ophuijsen tidak diberlakukan lagi. Keberadaannya diganti dengan ejaan Soewandi. Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947. Ejaan ini disebut juga ejaan Republik.

Dalam sistem ejaan ini, bahasa Indonesia sudah menggunakan huruf u untuk menuliskan kata-kata semacam guru, itu, umur. Tetapi masih seperti ejaan van Ophuijsen, ejaan ini juga masih menggunakan huruf j untuk menuliskan kata-kata seperti pajah, sajang, jang. Selain itu, tidak seperti Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, dalam ejaan Soewandi awalan di- dan kata depan di keduanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.

Hal tersebut jelas berbeda dengan sistem ejaan dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, kata depan di dan imbuhan di- ditulis dengan cara yang berbeda. Kata depan di pada di rumah, di kebun ditulis secara terpisah. Sementara imbuhan di- pada dimakan, ditulis tetap ditulis secara serangkai.

Selain ejaan van Ophuijsen dan ejaan Soewandi, bahasa Indonesia juga pernah memberlakukan ejaan Melindo. Ejaan ini dihasilkan pada akhir 1959 lewat sidang perutusan Indonesia dan Melayu. Tetapi karena perkembangan politik pada tahun-tahun berikutnya, ejaan ini urung diresmikan penggunaannya.

Rabu, 01 April 2009

Materi Kuliah Pengantar Filsafat [03-04]

Universitas: Panca Marga
Fakultas: Sastra dan Filsafat
Program Studi: Sastra Inggris
Materi Perkuliahan: Pengantar Filsafat
Pertemuan ke: 3 & 4
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pokok Bahasan: Cabang-cabang Filsafat
Sub Pokok Bahasan: 1. Epistemologi, 2. Metafisika, 3.
Logika, 4. Etika, 5. Estetika

CABANG-CABANG FILSAFAT

I. Pengertian Cabang Filsafat

Cabang-cabang filsafat adalah bidang-bidang studi filsafat. Ia merupakan cabang-cabang penyelidikan yang ada di dalam filsafat.

Aristoteles membagi filsafat menjadi tiga cabang, yakni filsafat spekulatif atau filsafat teoritis, filsafat praktika, dan filsafat produktif. Menurut Aritoteles, Filsafat spekulatif atau filsafat teoritis adalah filsafat yang bersifat objektif. Tujuan utama filsafat ini adalah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri. Fisika metafisika, biopsikologi, dsb adalah bidang-bidang filsafat yang termasuk dalam cabang filsafat ini. Filsafat praktika merupakan filsafat yang memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya. Sasaran filsafat ini adalah untuk membentuk sikap dan perilaku yang akan memampukan manusia untuk bertindak dalam terang pengetahuan. Yang termasuk dalam cabang filsafat ini adalah etika dan politik. Sementara filsafat produktif ialah filsafat yang membimbing dan menuntuk manusia untuk menjadi lebih produktif lewat suatu keterampilan khusus. Tujuannya agar manusia sanggup menghasilkan sesuatu, baik secara teknis maupun puitis dalam terang pengetahuan yang benar. Kritik sastra, retotika, dan estetika merupakan bidang-bidang dalam cabang filsafat ini.

Tetapi, perkembangan peradaban kehidupan manusia menuntut filsafat untuk lebih memperluas bidang penyelidikannya. Saat ini, cabang-cabang filsafat dapat dibagi menjadi lima cabang pokok: epistemologi, metafisika, logika, etika dan estetika.

II. Cabang-cabang Filsafat

II. 1 Epistemologi

Adakalanya, epistemologi disebut "teori pengetahuan". Secara etimologis, istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata episteme dan logos. Kata episteme berarti pengetahuan, sedangkan kata logos berarti kata, pikiran, percakapan, atau ilmu. Jadi, epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan, ilmu tentang pengetahuan.

Epistemologi adalah cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Ia menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Dalam epistemologi, pertanyaan-pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, tentang batas-batas pengetahuan, tentang asal dan jenis-jenis pengetahuan dibicarakan. Oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan seperti "apakah pengetahuan itu?", "apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan itu?" merupakan pertanyaan-pertanyaan yang biasa diajukan dalam cabang filsafat ini.

Di dalam epistemologi, ada beberapa teori yang biasa digunakan untuk menilai kesahihan pengetahuan, pertama, teori kesahihan koherensi (coherence theory of truth). Teori ini menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan) diakui sahih jika proposisi itu memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika.

Teori kedua yang biasa digunakan untuk menilai kesahihan pengetahuan dalam epistemologi adalah teori kesahihan korespondensi/ saling bersesuaian (correspondence theory of truth). Menurut teori ini, suatu pengetahuan itu sahih apabila proposisi bersesuaian dengan realitas yang menjadi objek pengetahuan itu. Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi. Dengan demikian, kesahihan pengetahuan itu dapat dibuktikan secara langsung.

Teori kesahihan pragmatis (pragmatical theory of truth) adalah teori kesahihan pengetahuan ketiga dalam epistemology. Teori ini menegaskan bahwa pengetahuan itu sahih jika proposisinya memiliki konsekuensi-konsekuensi kegunaan atau benar-benar bermanfaat bagi yang memiliki pengetahuan itu. Teori ini adalah teori kesahihan yang telah dikenal secara tradisional.

Teori berikutnya yang biasa digunakan dalam epistemologi adalah teori kesahihan semantik (semantic theory of truth). Teori ini adalah teori yang menekankan arti dan makna suatu proposisi. Bagi teori ini, proposisi harus menunjukkan arti dan makna sesungguhnya yang mengacu kepada referan atau realitas dan bisa juga arti definitive yang menunjuk ciri khas yang ada.

Teori kesahihan logika yang berlebihan (logical superfluity theory of truth) adalah teori kelima yang biasa digunakan dalam epistemologi untuk menilai kesahihan suatu pengetahuan. Teori ini hendak menunjukkan bahwa proposisi logis yang memiliki termin berbeda tetapi berisi informasi sama tak perlu lagi dibuktikan, atau ia telah menjadi suatu bentuk logika yang berlebihan. Misalnya, siklus adalah lingkaran atau lingkaran adalah bulatan. Dengan demikian proposisi lingkaran itu bulan tak perlu dibuktikan lagi kebenarannya.

II. 2 Metafisika

Kata metafisika saat ini memiliki banyak arti. Ia bisa berarti upaya untuk mengkarakterissi esistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan, atau juga bisa bisa berarti usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki apakah hakikat yang berada di balik realitas. Secara etimologis, kata metafisika ini berasal dari bahasa Yunani meta ta physika yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika. Kata ini merupakan kata bentukan dari kata meta yang berarti setelah, melebihi, dan kata physikos yang berarti menyangkut alam.

Metafisika adalah suatu pembahasan filsafati yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada. Ia bersangkut paut dengan pertanyaan mengenai hakekat 'yang-ada' yang terdalam. Menurut Bagus (2000: 624-625), metafisika memiliki beberapa pengertian, yakni:
(1) kajian menyeluruh, koheren dan konsisten tentang realitas (keberadaan, alam semesta) sebagai suatu keseluruhan;
(2) studi tentang yang-ada dan bukan tentang yang-ada dalam bentuk suatu keberadaan particular (barang, objek, entitas, aktivitas);
(3) studi tentang ciri-ciri alam semesta yang sangat umum, bersifat tetap, dan mencakup: eksistensi, perubahan, waktu, hubungan sebab-akibat, tempat, substansi, identitas, keunikan, perbedaan, kesatuan, keanekaan, kesamaan, ketunggalan;
(4) studi tentang realitas akhir-realitas sebagaimana terbentuk dalam dirinya sendiri yang terpisah dari tampakan-tampakan yang bersifat ilusif yang disajikan dalam persepsi kita;
(5) studi tentang dasar (prinsip, alasan, sumber, sebab) eksistensi segala sesuatu yang mendasari, serta penuh dalam dirinya sendiri, yang tidak tergantung dan yang sepenuhnya menentukan sendiri, yang justru menjadi dasar bagi eksistensi yang lain;
(6) studi tentang suatu realitas transenden yang merupakan sebab (sumber) semua eksistensi;
(7) studi tentang segala sesuatu yang bersifat rohani (gaib, adikodrati, supranatural, immaterial) dan yang tidak dapat diterangkan dengan metode-metode penjelasan yang ditemukan dalam ilmu-ilmu alam;
(8) studi tentang apa yang berdasarkan kodratnya harus ada dan tidak dapat menjadi selain dari apa adanya;
(9) studi kritis terhadap asumsi-asumsi (praduga-praduga, keyakinan-keyakinan dasar) yang mendasari, yang digunakan oleh sistem-sistem pengetahuan kita dalam pernyataannya tentang apa yang nyata.

Metafisika dibagi menjadi metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum biasa disebut juga Ontologi. Istilah ini muncul sekitar pertengahan abad ke 17. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani on atau ontos dan logos. Kata on atau ontos berarti ada atau keberadaan, sementara kata logos berarti studi atau ilmu tentang.

Metafisika umum atau ontologi, berbicara tentang segala sesuatu secara sekaligus. Ia berbicara tentang segala sesuatu sejauh itu "ada". Ia membicarakan asa-asa rasional dari yang ada, selain itu ia juga berusaha untuk mengetahui esensi terdalam dari 'yang-ada'. Bagi metafisika umum, "adanya" segala sesuatu merupakan suatu "segi" dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan mahluk-mahluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.

Dalam metafisika umum, pembahasan mengenai segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi yang sesungguhnya dari penampakan atau penampilan eksistensi itu. Oleh karena itu, metafisika umum senantiasa memulai penyelidikannya dengan pertanyaan-pertanyaan semacam "apakah kenyataan itu merupakan kesatuan atau tidak?", "apakah alam raya adalah peredaran abadi di mana semua gejala selalu kembali,, seperti dalam siklus musim-musim, atau justru suatu proses perkembangan?"

Menurut Bagus (2000: 764-767) metafisika khusus atau ontologi merupakan:
(1) studi tentang ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus;
(2) cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/ menjadi, aktualitas/ potensialitas, nyata/ tampak, perubahan, waktu, eksistensi/ noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang-ada sebagai yang-ada, ketergantungan pada diri sendiri, han mencakupi diri sendiri, hal-hal terakhir, dasar;
(3) cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna), menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya, menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu;
(4) cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan "apa arti 'ada', 'berada'?", yang menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan ADA, berada;
(5) cabang filsafat yang menyelidiki status realitas suatu hal (misalnya: "apakah objek pencerapan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)?", "apakah bilangan itu nyata?", "apakah pikiran itu nyata?"), yang menyelidiki jenis realitas yang dimiliki (misalnya: "apakah jenis realitas yang dimiliki bilangan? Persepsi? Pikiran?"), dan yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas dan/ atau ilusi (misalnya" "apakah realitas-atau ciri ilusif-suatu pikiran atau objek tergantung pada pikiran kita, atau pada suatu sumber yang eksternal yang independen?").

Selain metafisika umum atau ontology, metafisika juga dibagi ke dalam metafisika khusus yang meliputi teologi metafisik, filsafat antropologi, dan kosmologi.

Teologi metafisik berhubungan erat dengan ontologi, karena cabang filsafat ini menyelidiki apa yang dapat dikatakan tentang adanya Allah, lepas dari agama, lepas dari wahyu. Dengan kata lain, eksistensi Allah hendak dipahami secara rasional. Dalam cabang filsafat ini, Allah menjadi suatu sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan lewat metode ilmiah.

Karena menekankan penyelidikannya pada eksistensi Allah, cabang filsafat ini sering kali dijumbuhkan dengan sebutan "teodise". Penyebutan teologi metafisik ini dengan "teodise" kurang cocok, sebab teodise sendiri sebenarnya hanyalah bagian dari cabang filsafat ini. Ini karena teodise adalah cabang filsafat yang mencoba menerangkan bahwa kepercayaan kepada Allah tidak bertentangan dengan kenyataan kejatahan. Atau dalam kata lain, teodise hanya membahas dan membenarkan kepercayaan Allah Yang Mahakuasa di tengah-tengah realitas kejahatan yang merajalela di dunia ini. Jadi, apa yang dibicarakan oleh teodise hanyalah satu bagian dari pembicaraan teologi metafisik.

Secara tradisional, teologi metafisik terdiri dari pembicaraan tentang bukti-bukti untuk adanya Allah, dan pembicaraan tentang nama-nama ilahi. Descartes, Thomas Aquinas, dan Immanuel Kant adalah beberapa nama dari banyak nama filsuf yang terkenal dalam pembicaraan teologi metafisik.

Metafisika khusus lainnya adalah filsafat antropologi. Filsafat antropologi merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang manusia. Ia berupaya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti "apakah manusia itu?", "apakah hakekat manusia itu?". Atau dengan kata lain, filsafat antropologi merupakan filsafat yang membicarakan manusia sebagaimana adanya, baik apakah itu menyangkut esensi, eksistensi, status, ataupun relasi-relasinya.

Kata antropologi yang berada dalam istilah filsafat antropologi ini berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti manusia. Socrates dapat dikatakan merupakan pelopor dari cabang filsafat ini.

Kosmologi juga merupakan cabang dari metafisika khusus. Secara etimologis, istilah kosmologi yang kita kenal saat ini berasal dari dua kata Yunani kosmos dan logos. Kata kosmos berarti duania atau ketertiban, sedangkan kata logos berarti kata, percakapan atau ilmu. Jadi kosmologi berarti percakapan tentang dunia atau alam dan ketertiban yang paling fundamental.

Cabang filsafat ini memandang alam sebagai suatu totalitas dari fenomena dan berupaya untuk memadukan spekulasi metafisik dengan evidensi ilmiah di dalam suatu kerangka yang koheren. Ia membicarakan asas-asas rasional dari 'yang-ada yang teratur'. Ia berusaha mengetahui ketertiban serta susunannya. Hal-hal yang biasa disorot dan dipersoalkan dalam kosmologi adalah mengenai ruang dan waktu, perubahan, kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan dan keabadian, dengan menggunakan metode yang bersifat rasional. Dalam perkembangannya, cabang filsafat ini banyak memberi bantuan bagi ilmu-ilmu alam.

II. 3 Logika

Logika merupakan cabang filsafat yang tidak mengajar apa pun tentang manusia atau dunia. Ia merupakan suatu teknik atau "seni" yang mementingkan segi fomal, bentuk dari pengetahuan. Logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu. Ia adalah cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berpikir, aturan-aturan mana yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan yang kita lontarkan sah.

Berpikir merupakan obyek material logika. Logika menyelidiki, merumuskan serta menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati agar dapat berpikir lurus, tepat, dan teratutur. Asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat dan sehat merupakan lapangan keilmuan logika.

Istilah logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium (334-262 SM). Secara etimologis, istilah logika adalah istilah yang dibentuk dari kata Yunani logikos. Kata logikos ini berasal dari kata logos yang berarti sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal (pikiran), kata, percakapan, dan bahasa. Sementara kata logikos sendiri berarti mengenai sesuatu yang diutarakan, mengenai suatu pertimbangan akal (pikiran), mengenai kata, mengenai percakapan, atau yang berkenaan dengan bahasa. Jadi, secara etimologis, logika berarti suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.

Logika dapat dibedakan atas dua macam, yakni logika kodratiah dan logika ilmiah. Logika kodratiah adalah logika yang berkerja berdasarkan hukum-hukum logika yang berasal dari akal budi manusia yang muncul dengan cara spontan. Sementara logika ilmiah ialah logika yang yang berkerja menurut hukum-hukum logika ilmiah. Meski kedua hal ini dapat dibedakan, tetapi kedua macam logika ini tidak dapat dipisahkan. Karena logika ilmiah membantu logika kodratiah.

Akal budi dapat bekerja menurut hukum-hukum logika dengan cara yang spontan. Tetapi dalam hal-hal yang sulit baik akal budinya maupun seluruh diri manusia dapat dan nyatanya dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Selain itu, baik manusia sendiri maupun perkembangan pengetahuannya sangat terbatas.

Hal semacam ini menyebabkan bahwa kesesatan tidak dapat dihindarkan. Namun dalam diri manusia sendiri juga terasa adanya kebutuhan untuk menghindarkan sekesatan itu. Untuk menghindarkan kesesatan itu diperlukan suatu ilmu khusus yang merumuskan asas-asas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran.

Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Berkat pertolongan logika ini akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Sehingga kesesatan dapat dihindarkan, atau paling tidak dikurangi.

Logika dibagi dalam dua cabang utama, yakni logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif disebut juga logika formal. Logika ini membucarakan susunan proposisi-proposisi dan penyimpulan yang sifat keharusannya berdasarkan atas susunannya. Ia berusaha menemukan aturan-aturan yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat keharusan dari satu premis tertentu atau lebih. Dalam logika ini, ada perangkat aturan yang dapat diterapkan hampir-hampir secara otomatis. Contoh: bila a termasuk b, dan b termasuk c, maka a termasuk dalam c.

Logika induktif mencoba untuk menarik kesimpulan tidak dari susunan proposisi-proposisi, melainkan dari sifat-sifat seperangkat bahan yang diamati. Ia mencoba untuk bergerak dari satu perangkat fakta yang diamati secara khusus menuju ke pernyataan yang bersifat umum mengenai semua fakta yang bercorak demikian, atau dari suatu perangkat akibat tertentu menuju kepada sebab atau sebab-sebab dari akibat-akibat tersebut. Dalam logika induktif hukum-hukumnya bersifat probalilitas.

II. 4 Etika

Etika merupakan cabang filsafat yang sangat berpengaruh sejak zaman Socrates (470-399 SM). Etika adalah cabang filsafat yang berbicara tentang "praksis" manusiawi, tentang tindakan. Ia merupakan cabang filsafat yang bersangkutan dengan tanggapan-tanggapan mengenai tingkah laku yang betul.

Etika juga sering disebut sebagai filsafat moral, karena ia menyelidiki semua norma moral. Istilah etika berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa. Sementara ethikos berarti susila, keadaban atau kelakukan dan perbuatan yang baik. Jadi, etika adalah cabang filsafat yang membahas mengenai naik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia.

Etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia itu seharusnya berbuat atau bertindak. Ia berusaha untuk menemukan fakta-fakta mengenai situasi kesusilaan agar dapat menerapkan norma-norma terhadap fakta-fakta. Tujuannya untuk menemukan norma-norma bagi hidup lebih baik.

Beberapa ahli membagi etika ke dalam tiga bidang studi, yakni etika deskriptif, etika normatif dan metaetika.

Etika deskriptif adalah etika yang mencoba menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan penerimaan moral secara deskriptif. Ia senantiasa bertolak dari kenyataan ada berbagai fenomena yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah. Ia berusaha memberikan gambaran dari gejala kesadaran moral ("suara batin") dari norma-norma dan konsep etis. Etika ini digolongkan ke dalam bidang studi empiris dan berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam hubungannya dengan sosiologi, etika ini berusaha menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan, dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu.

Etika normatif kerap kali disebut juga filsafat moral (moral philosophy) atau etika filsafati. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk dan penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik dan buruk, benar dan salah. Tidak seperti etika deskriptif, etika normatif tidak berbicara tentang gejala-gejala, melainkan apa yang sebenarnya harus merupakan tindakan manusia. Dalam etika normative, norma-norma dinilai dan sikap manusia ditentukan.

Metaetika merupakan suatu studi analitis terhadap disiplin etika. Secara khusus, metaetika menyelidiki dan menetapkan arti serta makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Dalam metaetika, logika perbuatan dalam kaitan dengan "baik" dan "buruk", "benar" dan "salah" coba untuk dianalisa.

II. 5 Estetika

Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762) lewat salah satu karyanya. Menurutnya, estetika merupakan ilmu pengetahuan tentang keindahan. Secara etimologis, kata estetika berasal dari kata dalam bahasa Yunani aesthesis yang berarti pengamatan, pencerapan inderawi atau pemahaman intelektual.

Estetika merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan keindahan. Secara sederhana, dapat dikatakan, bahwa keindahan merupakan objek dari estetika. Sebab, dalam estetika, definisi, susunan, dan peranan keindahan, khususnya di dalam seni, dibicarakan dalam estetika.

Karena objek estetika adalah keindahan, maka estetika tidak mempersoalkan seorang seniman. Tapi estetika menyelidiki apa-apa saja yang disebut "indah", prinsip-prinsip yang emndasari seni dan keindahan, pengalaman yang bertalian dengan seni dan keindahan, seperti penciptaan seni, penilaian terhadap seni atau perenungan atas seni dan keindahan. Dengan kata lain, dalam estetika, hakikat keindahan, bentuk-bentuk pengalaman keindahan (seperti keindahan jasmani, keindahan rohani, keindahan seni dan keindahan alam), dan diselidiki emosi-emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, yang agung, yang tragis, yang bagus, yang mengharuskan dsb dibicarakan.

Estetika dibedakan ke dalam dua bagian, yakni estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskreptif menggambarkan gejala-gejala pengalaman keindahan. Ia menguraikan dan melukiskan fenomena pengalaman keindahan. Sedangkan estetika normatif mencari dasar pengalaman keindahan. Ia mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan apakah keindahan itu akhirnya sesuatu yang objektif (terletak dalam karya seni) atau justru subjektif (terletak dalam mata manusia sendiri).

Rabu, 25 Maret 2009

Materi Kuliah Theory of Literature [03]

Universitas: Panca Marga
Fakultas: Sastra & Filsafat
Mata Kuliah: Theory of Literature/ Teori Sastra
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pertemuan ke: 3
Pokok Bahasan: New Criticism

NEW CRITICISM

New Criticism (Kritik Sastra Baru) muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1920-an dan terus berkembang sampai dengan tahun 1960-an. Robert Penn Warren, Alan Tate, Cleanth Brooks, W.K. Wimsatt, Jhon Crowe Ransom, dan Monroe Breadsley adalah sedikit nama dari banyak nama yang merupakan tokoh-tokoh dari teori kritik sastra ini.

Pada mulanya, New Criticism muncul sebagai reaksi terhadap teori kritik sejarah sastra dan kritik sastra biografi yang terlalu menempatkan unsur-unsur ekstrinsik dari karya sastra, seperti sejarah dari satu karya sastra atau biografi seorang pengarang, sebagai sesuatu yang penting dalam menganalisis karya sastra, tanpa pernah masuk ke dalam unsur-unsur intrinsik satu karya sastra itu sendiri. New Criticism, berusaha membalik semua itu dengan menempatkan unsur-unsur intrinsik karya sastra sebagai objek penting dalam praktek analisis sastra. Bagi New Criticism, sastra merupakan satu kesatuan yang telah selesai, sebuah gejala estetika yang pada saat penyelesaiannya meninggalkan syarat-syarat subyektifnya, dan hanya dengan menganalisa susunan dan organisasi sebuah karya sastra, dapat diperlihatkan karya seni itu menurut arti yang sesungguhnya.

New Criticism menitikberatkan perhatian mereka pada unsur intrinsik karya sastra, tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik, dan juga tanpa memperhatikan biografi penulisnya. Sastra, dalam pandangan New Criticism, merupakan satu figur spesial, satu objek swadaya (self-sufficient) yang sama solidnya dan bersifat material seperti jambangan atau ikon. Ia adalah sesuatu yang otonomon, mandiri dan berdiri sendiri, serta tidak tergantung pada unsur-unsur lain di luar sastra itu sendiri. Oleh karena itu, sastra, menurut New Criticism, harus menjadi objek dalam dirinya sendiri, ia harus memisahkan diri dari pengarang maupun pembaca. Pendekatan semacam itu membuat New Criticism dikenal sebagai pendekatan yang memiliki sifat ergosentrik. Pendekatan bersifat ergosentrik merupakan pendekatan yang mengarahkan perhatian kepada karya sastra sendiri (ergosentris), lepas dari pengarung pengarangnya (intentional fallacy), riwayat terjadinya serta pendapat pembaca (affective fallacy) dan kaum kritisi (herey of paraphrase).

Sastra, menurut New Criticism, merupakan sesuatu yang dibentuk dengan baik sehingga tak ada satu pun bagiannya yang dapat dihilangkan atau diganti. Ia merupakan satu kesatuan organik yang kompleks dan unik di mana makna harus dicari dalam sintaksis dan semantiknya dengan sarana dan bekal pengetahuan kebahasaan dan kesastraan. Dalam menghadapi karya sastra yang tersedia bagi New Criticism hanya meaning, makna karya itu, dan hanya itulah yang dapat dipahami dan dikupasnya, tanpa jalan lain untuk mengikutsertakan niat atau maksud pengarang (intentional fallacy) karena pengetahuan mengenai riwayat hidup atau pendirian penulis, juga dalam penciptaan karyanya, tersebut tidak membantu untuk memahami karya itu dengan lebih baik, bahkan sering mengelirukan.

New Criticism berpendapat bahwa dalam melakukan pendekatan atau analisis terhadap karya sastra yang diperlukan ialah pendekatan intrinsik yang menekankan struktur karya sastra sendiri. Berdasarkan paradigma ini, maka New Criticism pun menolak emosi atau afeksi, sikap keterharuan pembaca sebagai kriteria atau jalan untuk memahami karya dengan lebih tepat. Menurut mereka, jurang antara emosi pembaca dan makna karya tidak dapat dijembati oleh pengkritik sastra dengan alat yang diberikan kepadanya, yaitu teks karya itu sendiri. Yang ada dan yang tinggal bagi pengkritik sastra hanya kata-kata karya. Jadi, kesan pembaca (affective fallacy) terhadap satu teks sastra pun ditolak karena dianggap dapat menyebabkan kesesatan dalam melakukan analisis.

Untuk itu, New Criticism menyarankan bahwa dalam mendekati atau menganalisis karya sastra yang harus dilakukan pertama kali adalah dengan melakukan pembacaan secara mikroskopik terhadap karya sastra. Metode pembacaan ini dikenal dengan istilah close reading. Close reading merupakan metode pembacaan terhadap karya sastra yang berusaha mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetail. Ini bertujuan agar tak ada satu pun bagian dari karya sastra yang sedang diamati terlepas dari pengamatan, sebab semua bagian dalam karya sastra, sekecil apa pun bagian tersebut, merupakan bagian yang tidak mungkin dipisahkan.

Pembacaan secara close reading membuat karya sastra menjadi hidup, menjadi konkret (concret) dalam benak pembaca. Selain itu, pembacaan dengan metode ini membuat analisis menemukan tekanannya pada kerja yang bersifat empirik, karena ia melakukan observasi langsung terhadap teks dan bukan hal-hal di luar teks. Oleh sebab itu, New Criticism juga mengandaikan adanya empirisme dan konkretisasi dalam melakukan pendekatannya atau kerja analisisnya terhadap satu karya sastra.

Bagi New Criticism, metode pembacaan secara close reading ini bertujuan untuk menemukan atau menggali struktur karya sastra yang terdiri dari ambiguitas, paradoks, dan ironi. Menurut New Criticism, struktur karya sastra adalah struktur dalam tatarannya yang individual. Ia bukanlah 'bentuk' dalam pengertian konvensional di mana bentuk diartikan sebagai amplop yang memuat 'isi'. Ia jelas berada di mana-mana dan terkondisi oleh sifat materi yang ada dalam puisi. Sifat materi menentukan masalah yang perlu dipecahkan, dan pemecahannya ialah penyusunan materi itu.

Struktur, dalam pandangan New Criticism, adalah struktur makna, evaluasi, dan penafsiran; dan prinsip kesatuan yang menjelaskan kelihatan merupakan prinsip menyeimbangkan dan mengharmoniskan konotasi, sikap, dan makna. Dan ia menyatukan hal-hal yang sama dengan hal-hal yang berbeda. Namun, ia tidak menyatukannya dengan suatu proses sederhana yang memungkinkan satu konotasi menghapuskan konotasi lainnya; demikian pula ia tidak mengurangi sikap-sikap yang bertentangan menjadi harmoni melalui proses pengurangan. Struktur tersebut merupakan kesatuan yang positif, tidak negatif; ia tidak merupakan sisa, melainkan suatu harmoni yang dapat diperoleh. Konsep inilah yang menggabungkan kesatuan dan keberagaman yang mengantar New Criticism pada penggunaan yang terbiasa dalam mengkritik istilah-istilah seperti 'ambiguitas', 'paradoks', 'kompleksitas sikap', dan khususnya 'ironi'.

Menurut New Criticism, makna karya sastra bukanlah makna denotasi tapi makna konotasi, karena bahasa sastra berbeda dengan bahasa sains atau bahasa pada umumnya. Bahasa sastra tidak menunjuk langsung, tapi mengandaikan. Pengandaian ini membuat makna karya sastra menjadi sangat luas dan bebas. Oleh karena itu, makna karya sastra adalah makna yang ambigu. Kecenderungan adanya ambiguitas makna ini membuat karya sastra berada pada ketegangan-ketegangan. Ketegangan-ketegangan ini menciptakan sifat paradoks dalam karya sastra. Secara umum, paradoks dapat dipahami sebagai gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks ini menghadirkan gambaran kompleksitas sikap dari karya sastra, juga melahirkan ironi.

Dalam ironi, segala sesuatunya bermakna berlawanan dengan makna sesungguhnya. Ironi ini banyak bentuknya, ada ironi verbal yang merupakan lawan atau kenalikan dari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksud sesungguhnya. Ada ironi dramatik yang merupakan lawan atau kebalikan dari apa yang diketahui tokoh dalam satu karya sastra dan apa yang diketahui oleh pembaca. Dan yang terakhir ada ironi situasi yang merupakan lawan atau kebalikan antara harapan atau prasangka dan hasil dari harapan atau prasangka tersebut.

Untuk menciptakan ambiguitas, paradoks, ironi dan kompleksitas sikap tersebut, karya sastra, menurut New Criticism, senantiasa menggunakan bahasa kiasan, baik apakah itu berupa metafora, yang merupakan perbandingan antara satu objek dengan objek lainnya tanpa penggunaan kata pembanding, ataupun simile, yang merupakan pembadingan antara objek satu dengan lainnya dengan menggunakan kata-kata pembanding. Keberadaan bahasa kiasan ini pula yang membuat makna dari satu karya sastra senantiasa bersifat konotasi bukan denotasi.

Melihat kerja dari New Criticism tersebut, maka tidak mengherankan apabila New Criticism menganggap bahwa dalam karya sastra antara bentuk dan isi merupakan satu kesatuan yang bulat. Dan setiap bentuk yang ada pada karya sastra senantiasa tunduk pada makna. Karena itu, bagi New Criticism, adalah penting untuk mencari makna dari satu karya sastra sebab dengan menemukan makna dari satu karya sastra, bentuk dari satu karya sastra tersebut juga dapat dikenali.

Pendekatan yang menitikberatkan secara intriksik inilah yang membuat New Criticism menjadi sangat populer di kalangan akademisi. Karena pendekatan ini menyediakan metode pedadogis yang cocok bagi kalangan akademisi.

Kamis, 12 Maret 2009

Materi Kuliah Bahasa Indonesia 1 [03]

Materi Perkuliahan: Bahasa Indonesia 1
Pertemuan ke: 3
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pokok Bahasan: Kedudukan Bahasa Indonesia
Sub Pokok Bahasan: 1. Pengertian Bahasa Indonesia, 2. Sejarah Bahasa Indonesia,
3. Ragam Bahasa Indonesia



KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA

I. Pengertian Bahasa Indonesia

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menggunakan bahasa Indonesia. Ia merupakan bahasa yang penting di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilihat dari kedudukannya dalam khazanah kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa Indonesia memiliki dua pengertian, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara.

Bahasa Indonesia, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, didasarkan pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, terutama butir ketiga yang berbunyi: "Kami putra dan putrid Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sementara dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 yang berbunyi, "Bahasa negara adalah bahasa Indonesia".

Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi. Pertama, sebagai lambang kebanggaan nasional. Artinya, bahwa bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai social budaya yang mendasari rasa kebangsaan bangsa Indonesia.

Fungsi kedua dari bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional adalah sebagai lambang jati diri atau identitas nasional. Artinya, bahwa bahasa Indonesia merupakan cerminan kepribadian bangsa Indonesia secara eksistensi.

Selain sebagai lambang jati diri atau identitas nasional, bahasa Indonesia dalam kedudukannnya sebagai bahasa nasional juga memiliki fungsi sebagai alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial, budaya, dan bahasanya. Artinya, bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat komunikasi di seluruh pelosok Indonesia.

Fungsi terakhir yang dimiliki oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah sebagai alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Artinya, bahwa dengan adanya bahasa Indonesia dan penggunaan bahasa Indonesia bangsa Indonesia mendahulukan kepentingan nasional ketimbang kepentingan daerah, suku ataupun golongan.

Tadi telah dipaparkan, bahwa bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi. Pertama sebagai bahasa resmi negara.

Sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia digunakan untuk berbagai keperluan kenegaraan, baik lisan maupun tulis, seperti pidato-pidato kenegaraan, dokumen-dokumen resmi negara, dan sidang-sidang yang bersifat kenegaraan. Semua itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya.

Fungsi kedua bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam fungsinya ini, bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana penyampai ilmu pengetahuan kepada anak didik di bangku pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, baik negri maupun swasta.

Selain sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara, juga memiliki fungsi sebagai bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional, baik untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan maupun untuk kepentingan pemerintahan. Artinya, bahwa bahasa Indonesia tidak saja hanya digunakan sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat luas, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi penduduk di seluruh pelosok Indonesia.

Fungsi terakhir dari bahasa Indonesia sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa resmi di dalam kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Artinya, bahwa bahasa Indonesia dipakai sebagai alat untuk mengembangkan dan membina iptek dan kebudayaan nasional sehingga tercipta satu ciri khas yang menandakan satu kesatuan negara Indonesia dan bukannya kedaerahan.

II. Sejarah Bahasa Indonesia

Untuk dapat meraih kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang.

Telah diketahui bersama bahwa bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini berasal dari bahasa Melayu. Ada beberapa alasan yang menyebabkan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Pertama, bahwa bahasa melayu merupakan lingua franca (bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi sosial di antara orang-orang yang berlainan bahasanya) di Indonesia.

Jauh sebelum bahasa Indonesia ada dan dipergunakan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara di Indonesia, bahasa Melayu sudah terlebih dahulu menjadi alat komunikasi di Indonesia. Ini dapat dilihat dari banyaknya prasasti-prasasti pada zaman kerajaan Sriwijaya (kisaran abad VII) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu, seperti prasasti di Talang Tuwo, Palembang yang berangka tahun 684, prasasti di Kota Kapur, Bangka Barat yang berangka tahun 686, ataupun prasasti Karang Brahi yang berangka tahun 686.

Selain itu, keberadaan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia juga dapat dilihat dari daftar kata-kata yang disusun oleh seorang Portugis bernama Pigafetta pada tahun 1522. Daftar tersebut dia susun berdasarkan kata-kata dari bahasa Melayu yang ada dan tersebar penggunaan di kepulauan Maluku. Atau juga pada surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Surat keputusan yang bernomor K.B. 1871 No. 104 menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumi putera diberi dalam bahasa Daerah, kalau tidak dipakai bahasa Melayu.

Alasan kedua yang meyebabkan diangkat bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah kesederhanaan sistem bahasa Melayu yang tidak memiliki tingkatan. Tidak seperti bahasa Jawa yang memiliki tingkatan seperti kromo, kromo madya, dan ngoko, bahasa Melayu tidak mengenal sistem tingkatan seperti itu. Bahasa Melayu tidak mengenal tingkatan-tingkatan dalam sistem berbahasanya inilah yang menciptakan kesan bahasa Melayu mudah untuk dipelajari.

Selain itu, diterima dan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia disebabkan karena kerelaan berbagai suku di Indoensia untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia. Bentuk kerelaan ini puncaknya terjadi pada Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 yang melahirkan teks Naskah Sumpah Pemuda, yang salah satu butirnya berbunyi, "Kami putra dan putrid Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Alasan keempat atau alasan terakhir yang menyebabkan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah kesanggupan bahasa Melayu untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas. Kesanggupan ini dibuktikan dengan keberadaan bahasa Melayu yang merupakan alat perhubungan antara orang-orang yang berlainan bahasanya di Indonesia. Sebagai alat perhubungan tersebut, bahasa Melayu telah mampu membuktikan kemampuannya dalam menterjemahkan segala perilaku dan bentuk-bentuk budaya yang ada di Indonesia, sehingga mereka yang berada di luar wilayah kebudayaan Indonesia pun dapat memahami segala bentuk dan perilaku kebudayaan yang ada di Indonesia.

III. Ragam Bahasa Indonesia

Dalam praktek pemakaiannya bahasa memiliki banyak ragam. Secara sederhana, ragam bahasa dapat diartikan sebagai variasi pemakaian bahasa yang timbul sebagai akibat adanya sarana, situasi, norma dan bidang pemakaian bahasa yang berbeda-beda. Merujuk pada pengertian tersebut, maka ragam bahasa dapat dilihat dari empat segi, yaitu: (a) segi sarana pemakaiannya, (b) segi situasi pemakaiannya, (c) segi norma pemakaiannya, dan (d) segi bidang pemkaiannya.

Berdasarkan segi sarana pemakaiannya, bahasa Indonesia dapat dibedakan atas dua ragam, yakni tulis dan lisan. Ragam bahasa Indonesia tulis adalah variasi bahasa Indonesia yang dipergunakan dengan medium tulisan. Sementara ragam bahasa Indonesia lisan adalah ragam bahasa Indonesia yang diungkapkan dalam bentuk lisan.

Antara ragam bahasa lisan dan bahasa tulis terdapat beberapa perbedaan, sebagai berikut:
a. Ragam bahasa lisan menghendaki adanya orang kedua yang bertindak sebagai lawan bicara orang pertama yang hadir di dapan, sedangkan dalam ragam tulis keberadaan orang kedua yang bertindak sebagai lawan bicara tidak harus ada atau hadir di hadapan.
b. Dalam ragam bahasa lisan unsur-unsur fungsi gramatikal seperti subjek, predikat dan objek tidak selalu dinyatakan, bahkan terkadang (dan tak jarang) unsure-unsur tersebut ditinggalkan. Ini disebabkan karena bahasa yang digunakan tersebut dapat dibantu oleh gerak, mimik, pandangan, anggukan atau intonasi. Sementara pada ragam bahasa tulis fungsi-fungsi gramatikal senantiasa dinyatakan dengan jelas. Ini semata karena ragam tulis menghendaki agar orang yang "diajak bicara" mengerti isi dari sebuah tulisan yang disampaikan.
c. Ragam bahasa lisan terikat pada kondisi, situasi, ruang, dan waktu. Sementara ragam bahasa tulis tidak, karena ia memuat kelengkapan unsur-unsur fungsi gramatikal dan ketatabahasaan.
d. Ragam bahasa lisan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya dan panjang atau pendeknya suara, sementara ragam bahasa tulis dilengkapi dengan tanda baca, huruf besar dan huruf miring.

Selain dilihat dari segi sarana pemakaiannya, ragam bahasa Indonesia juga dapat dilihat dari situasi pemakaiannya. Dari segi situasi pemakaiannya, ragam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi ragam bahasa Indonesia resmi dan ragam bahasa Indonesia tak resmi.

Ragam bahasa Indonesia resmi disebut juga ragam bahasa Indonesia formal. Ia merupakan ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi formal. Sebagai ragam bahasa yang digunakan dalam situasi resmi atau formal, keberadaannya ditandai dengan pemakaian unsur-unsur kebahasaan yang memperlihatkan tingkat kebakuan yang tinggi.

Ragam bahasa Indonesia resmi memiliki bentuk ragamnya yang berupa lisan dan tulis. Dalam bentuk lisan, ragam bahasa Indonesia resmi dapat dijumpai pada pembicaraan-pembicaraan di seminar-seminar ataupun pada pembacaan teks-teks pidato kenegaraan. Sementara dalam bentuk tulis, ragam bahasa Indonesia resmi dapat dijumpai dalam teks-teks pidato kenegaraan.

Selain ragam bahasa Indonesia resmi, dari segi situasi pemakaiannya, bahasa Indonesia juga terdiri dari ragam bahasa Indonesia tak resmi. Ragam ini disebut juga ragam bahasa Indonesia informal. Ia merupakan ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi tak resmi. Secara sederhana, ragam bahasa ini dapat dilihat dari pemakaian unsur-unsur bahasa yang memperlihatkan tingkat kebakuan yang rendah.

Sebagaimana ragam bahasa Indonesia resmi, ragam bahasa Indonesia tak resmi juga memiliki bentuknya, baik berupa lisan ataupun tulis. Dalam bentuk lisan, ragam bahasa Indonesia ini biasanya dengan mudah dapat kita jumpai dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Sementara dalam bentuk tulis, ragam bahasa Indonesia ini dapat dengan mudah ditemukan dalam sejumlah teks-teks sastra, baik apakah itu novel, cerita pendek, ataupun puisi.

Dari segi norma pemakaiannya, bahasa Indonesia terdiri dari dua ragam, baku dan tidak baku.

Ragam bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa Indonesia yang pemakaiannya sesuai dengan kaidah tatabahasa Indonesia yang berlaku, baik apakah itu secara ejaan, maupun ketatabahasaan secara lebih spesifik. Ia biasanya, baik secara lisan ataupun tulis, identik dengan ragam bahasa Indonesia resmi. Ini karena dalam situasi resmi, ragam bahasa Indonesia yang digunakan senantiasa mengacu pada kaidah-kaidah tatabahasa yang baku.

Ragam bahasa Indonesia tidak baku adalah ragam bahasa Indonesia yang pemakaiannya menyimpang dari kaidah yang berlaku. Ragam bahasa Indonesia ini, baik dalam bentuk tulis maupun lisan, berkaitan erat dengan ragam bahasa Indonesia tak resmi. Ini karena dalam situasi tak resmi, bahasa Indonesia baku tidak digunakan. Misalnya, di dalam pergaulan sehari-hari, penggunaan bahasa Indonesia baku akan membuat kondisi pergaulan menjadi kaku dan terkesan resmi.

Bahasa Indonesia, dalam ragamnya, juga dapat dilihat dari segi bidang pemakaiannya. Dalam segi bidang pemakaiannya, apakah itu dalam lisan ataupun tulis, bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, antara lain: bahasa Indonesia jurnalistik, bahasa Indonesia sastra, bahasa Indonesia ilmiah, dsb. Ini karena banyaknya bidang kehidupan yang dimasuki oleh bahasa Indonesia dan setiap bidang tersebut memiliki cirinya masing-masing yang membedakan antara satu bidang dengan lainnya.

Tugas Makalah Theory of Literature

Tugas Makalah Mata Kuliah "Theory of Literature"
Semester Genap Tahun Ajaran 2008/ 2009

I. Perorangan:
1. Buatlah ringkasan atau synopsis karya-karya berikut ini:
A. "Hamlet", karya Shakespeare,
B. "Macbeth", karya Shakespeare,
C. "A Portrait of the Artis as a Young Man", karya James Joyce,
D. "Famished Road", karya Ben Okri,
E. "Beowulf", karya Anonymous.
2. Buatlah ringkasan teori-teori berikut:
A. New Criticism,
B. Formalisme,
C. Strukturalisme,
D. Resepsi,
E. Dekonstruksi


II. Kelompok:
Buatlah makalah yang berisi analisis terhadap satu karya sastra dengan menggunakan satu teori tertentu.

III. Penyajian Makalah:
1. Semua makalah diketik rapi dengan menggunakan:
a. Kertas ukuran A 4
b. Huruf Time New Roman ukuran 12
c. Spasi 1,5
dan dijilid.
2. Untuk makalah kelompok selain diketik rapi dan dijilid, juga menggunakan sistematika penyajian makalah:
A. Bab I: Pendahuluan (berisi Latar belakang masalah, Permasalahan, dan landasan Teori)
B. Bab II: Pembahasan
C. Simpulan
D. Daftar Pustaka

IV. Keterangan:
Semua tugas dan makalah dikumpulkan dalam bentuk cetak dan file paling lambat saat Ujian Tengah Semester (UTS). Untuk makalah dalam bentuk file dikirimkan ke indra.tjahyadi@yahoo.co.id


Tugas Makalah Mata Kuliah Pengantar Filsafat

Tugas Makalah Mata Kuliah "Pengantar Filsafat"
Semester Genap Tahun Ajaran 2008/ 2009

I. Tugas:
Buatlah makalah secara perosrangan dengan memilih salah satu cabang filsafat, seperti epistemolog, metafisika, estetika, dsb, sebagai pokok bahasannya.

II. Keterangan:
1. Tugas diketik rapi:
a. pada kertas ukuran A4
b. menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12
c. menggunakan spasi 1,5
dan dijilid.

2. Tugas makalah/ paper disusun dengan menggunakan sistematika penulisan:
Bab I: Pendahuluan (terdiri dari latar belakang masalah dan permasalahan)
Bab II: Pembahasan
Simpulan
Daftar Pustaka

3. Tugas dikumpulkan dalam bentuk cetak dan file. Dalam bentuk file, tugas makalah dikirimkan ke indra.tjahyadi@yahoo.co.id. Tugas, baik dalam bentuk cetak ataupun file, paling lambat dikumpulkan pada saat Ujian Tengah Semester (UTS).

Tugas Makalah Mata Kuliah Bahasa Indonesia I

Tugas Makalah Mata Kuliah "Bahasa Indonesia 1"
Semester Genap Tahun Ajaran 2008/2009

I. Tugas:
Buatlah makalah secara kelompok dengan tema "Bahasa Indonesia dalam perkembangan dan kedudukannya dalam pergaulan kebudayaan dunia".

II. Keterangan:
1. Setiap kelompok beranggotakan maksimal 5 mahasiswa

2. Tugas diketik rapi:
a. pada kertas ukuran A4
b. menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12
c. menggunakan spasi 1,5

3. Tugas makalah/ paper disusun dengan menggunakan sistematika penulisan:
Bab I: Pendahuluan (terdiri dari latar belakang masalah dan permasalahan)
Bab II: Pembahasan
Simpulan
Daftar Pustaka

4. Tugas dikumpulkan dalam bentuk cetak dan file. Dalam bentuk file, tugas makalah dikirimkan ke indra.tjahyadi@yahoo.co.id. Tugas, baik dalam bentuk cetak ataupun file, paling lambat dikumpulkan pada saat Ujian Tengah Semester (UTS).