Rabu, 15 April 2009

Materi Kuliah Bahasa Indonesia 1 [06]

Universitas: Panca Marga
Fakultas: Sastra & Filsafat
Materi Perkuliahan: Bahasa Indonesia 1
Pertemuan ke: 6
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S
Pokok Bahasan: Karangan Ilmiah
Sub Pokok Bahasan: 1. Pengertian Karangan Ilmiah,
2. Tujuan Penulisan Karangan Ilmiah, 3. Jenis Karangan Ilmiah


KARANGAN ILMIAH

I. Pengertian Karangan Ilmiah

Perguruan tinggi merupakan pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, perguruan tinggi dipenuhi dengan kegiatan ilmiah. Sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, kedudukan karangan ilmiah di perguruan tinggi sangat penting, sebab karangan ilmiah merupakan bagian dari tuntutan formal akademik, dan ia merupakan satu ciri pemerlain dari suasana ilmiah akademisi.

Di perguruan tinggi, mahasiswa diharapkan tidak hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi produsen ilmu pengetahuan, oleh karena itu penulisan karangan ilmiah menjadi kegiatan yang harus dilakukan oleh mahasiswa di perguruan tinggi. Artinya, mahasiswa bukan saja dapat membaca tulisan-tulisan ilmiah, tetapi juga harus dapat menulis sendiri karangan-karangan yang bersifat ilmiah. Jadi, menulis karangan ilmiah dapat dikatakan merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dalam seluruh proses pembelajara yang dialami setiap mahasiswa.

Karangan ilmiah adalah karya tulis ilmiah yang bentuk, isi, dan bahasanya menggunakan kaidah-kaidah keilmuan. Ia merupakan hasil cipta tulis yang telah diakui dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi atau seni yang ditulis atau dikerjakan sesuai dengan tata cara ilmiah dan mengikuti pedoman atau konvensi ilmiah yang telah disepakati atau ditetapkan.

Karena karangan ilmiah berisi serangkaian hasil pemikiran yang diperoleh sesuai dengan sifat keilmuannya., umumnya, ditulis berdasarkan hasil-hasil pemikiran dan perenungan sendiri, serta kesimpulan dan pendapat-pendapat sendiri. Karangan ilmiah senantiasa didasari oleh hasil pengamatan, peninjauan, penelitian dalam bidang tertentu, disusun menurut metode tertentu dengan sistematika penulisan yang bersantun bahasa dan isinya dapat dipertanggungjawabkan kebenaran keilmiahannya.

Setiap karangan ilmiah memiliki ciri-cirinya yang meliputi:
a. menggunakan bahasa baku dalam penulisannya, dan
b. mengandung syarat kebenaran ilmiah.

Menurut Rahayu (2007: 55-56), syarat kebenaran ilmiah itu meliputi koherensi, korispondensi dan pragmatis. Koherensi dalam artian bahwa penyataan-pernyataan yang dibutnya koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Korespondensi berarti suatu pernyataan dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandungnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut atau sesuai dengan faktanya. Dan pragramtis berarti pernytaan dianggap benar karena pernyataan tersebut memiliki sifat pragmatis atau fungsional dalam kehidupan praktis, dapat dipraktekkan dan didayagunakan bagi kehidupan manusia di dunia.

II. Tujuan Penulisan Karangan Ilmiah

Penulisan karangan ilmiah memiliki beberapa tujuan. Secara umum, menurut Surakhmad (1988: 9), penulisan karangan ilmiah memiliki tujuan melatih seseorang untuk menyusun hasil pemikiran dan hasil penyelidikannya menurut cara-cara yang lazim dipergunakan oleh sarjana-sarjana dalam dunia ilmu pengetahuan, dan memberi kesempatan kepada setiap orang untuk dapat mengikuti uraian dan data yang dikemukakan dalam laporan ilmiah. Secara spesifik, Surakhmad berpendapat (1988: 11), karangan ilmiah memiliki tujuan melaporkan keterangan dan pikiran secara jelas, ringkas dan tegas.

III. Jenis-jenis Karangan Ilmiah

Dilihat dari tujuan penulisannya, merujuk pada Djuharie (2001: 9), karangan ilmiah dapat dibedakan ke dalam dua jenis. Pertama adalah untuk memenuhi tugas-tugas perkuliahan, seperti makalah dan laporan buku atau laporan bab. Kedua adalah karangan ilmuah yang merupakan syarat yang dituntut dari mahasiswa ketika menyelesaikan satu program studi, seperti skripsi, tesis, dan disertasi.

III. 1. Makalah

Makalah, merujuk pada Djuharie (2001: 11), merupakan karangan ilmiah mengenai suatu topik tertentu yang tercakup dalam ruang lingkup suatu perkuliahan. Makalah merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan suatu perkuliahan.

Menurut Djuharie (2001: 11), makalah memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Merupakan hasil kajian literature atau laporan pelaksanaan suatu kehiatan lapangan yang sesuai dengan cakupan permalsalahan suatu perkuliahan.
b. Mendemonstrasikan pemahaman mahawasiswa tentang permasalahan teoritik yang dikaji atau kemampuan mahasiswa dalam menerapkan suatu prosedur, prinsip, atau teori yang berhubungan dengan perkuliahan.
c. Menunjukkan kemampuan terhadap isi dari berbagai sumber yang digunakan.
d. Mendemonstrasikan kemampuan meramu berbagai sumber informasi dalam satu kesatuan sintesis yang utuh.

Secara umum, Djuharie berpendapat (2001: 12) terdapat dua jenis makalah yang berlaku di perguruan tinggi, yakni makalah biasa (common paper) dan makalah posisi (position paper).

Makalah biasa (common paper) adalah makalah yang dibuat mahahasiswa dalam bentuk yang deskriptif. Makalah jenis ini dibuat mahasiswa untuk menunjukkan pemahamannya terhadap permaslahan yang dibahas. Dalam makalah jenis ini, mahasiswa diperkenan mengemukakan berbagai aliran atau pandangan yang ada tentang masalah yang dikaji. Dalam makalah jenis ini, mahasiswa boleh memberikan pendapat baik apakah itu dalam bentuk kritik atau saran mengenai aliran atau pendapat yang dikemukakan. Tetapi ia tidak perlu memihak pada salah satu aliran atau pendapat tertentu. Dengan demikian, mahasiswa atau penyusun makalah tidak perlu berargumentasi mempertahankan pendapat tersebut.

Selain makalah biasa (common paper), juga terdapat makalah jenis makalah posisi (position paper). Makalah posisi merupakan makalah yang dibuat oleh mahasiswa untuk menunjukkan posisi teoritiknya dalam suatu kajian. Dalam makalah jenis ini, mahasiswa diminta untuk tidak saja menunjukkan penguasaan pengetahuan tertentu, tetapi juga dituntut untuk dapat menunjukkan di pihak mana ia berdiri.

Agar dapat membuat makalah jenis makalah posisi, mahasiswa harus membaca berbagai sumber dari berbagai aliran tentang topik yang sedang dibahas. Dari bahasan tersebut, mungkin saja mahasiswa dapat memihak salah satu aliran yang ada tetapi mungkin pula dia membuat suatu sintesa dari berbagai pendapat yang ada. Jadi, kemampuan analisis, sintesis dan evaluasi merupakan kemampuan mutlak yang harus dikuasai oleh mahasiswa dalam membuat makalah jenis ini, sebab dengan kemampuan-kemampuan tersebut makalah jenis ini dapat dihasilkan.

Baik makalah biasa atau makalah posisi, merujuk pada Djuharie (2001: 13), memiliki sistematika yang terdiri atas: pendahuluan (bagian tempat dikemukakannya persoalan yang akan dibahas), isi (tempat didemonstrasikannya kemampuan mahasiswa dalam menjawab masalah yang diajukan), dan kesimpuan (bagian yang merupakan tempat disimpulkannya makna yang diberikan penulis terhadap hasil diskusi/ uraian yang telah dilakukannya dalam bagian isi).

III. 2 Laporan Buku

Laporan buku atau laporan bab, menurut Djuharie (2001: 14), pada dasarnya adalah karangan ilmiah yang mendemonstrasikan pemahaman mahasiswa terhadap isi buku tau bab yang dilaporkan. Dalam bentuknya yang lebih tinggi, laporan buku atau laporan bab juga mendemonstrasikan kemampuan analisis dan evaluatif mahasiswa. Oleh karena itu, laporan buku atau laporan bab bukanlah ringkasan atau terjemahan dari buku atau bab yang dilaporkan.

Dalam membuat laporan jenis ini, mahasiswa diperbolehkan mengutip beberapa bagian dari buku atau bab yang dibahasnya. Kutipan tersebut sifatnya hanyalah untuk mendukung atau memperkuat pendapat pelapor tentang isi dari bab atau buku yang dibahasnya. Kutipan tersebut tidak boleh menjadi sesuatu yang dominan dalam laporan yang disampaikannya.

Dalam laporan tersebut, mahasiswa diharuskan untuk merumuskan isi pokok-pokok pemikiran dari buku atau bab yang bersangkutan, serta komentar terhadap isi buku yang dilaporkan. Rumusan isi pokok tersebut meliputi permasalahan yang diajukan pengarang, cara pengarang menyelesaikan permasalahan yang disajikan, konsep teori yang dikembangkan dalam buku atau bab tersebut, serta ciri khas pendapat pengarang. Dalam hal laporan bab, harus juga dinyatakan kedudukan bab tersebut dalam keseluruhan isi buku.

Djuharie berpendapat (2001: 14), laporan buku memiliki sistematika penyusunan yang terdiri dari: pendahuluan (memberikan gambaran keadaan buku atau bab yang dilaporkan), isi buku atau isi bab (mengemukakan isi dari buku atau bab yang dilaporkan sebagai bukti pemahaman pelapor terhadap buku atau bab yang dilaporkan), komentar (komentar pelapor terhadap isi buku atau isi bab yang dilaporkan), dan kesimpulan (kesimpulan tentang buku atau bab yang dilaporkan atau implikasi terhadap studi yang sedang dipelajari).

III. 3 Skripsi

Skripsi, merujuk Djuharie (2001: 17), merupakan karangan ilmiah akhir seorang mahasiswa dalam menyelesaikan program Strata 1 (S1). Skripsi merupakan bukti kemampuan akademik mahasiswa yang bersangkutan dalam penelitian yang berhubungan dengan masalah pendidikan sesuai dengan bidang studinya. Skripsi disusun dan dipertahankan untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu.

Menurut Djuharie (2001: 17-19), dalam membuat skripsi mahasiswa biasanya melalui tiga tahapan, meiputi tahap persiapan, tahap penelitian dan bimbingan, dan tahap penyelesaian akhir. Tahap persiapan adalah tahap di mana mahasiswa sebagai calon Sarjana Strata Satu diwajibkan untuk menyusun usulan rancangan penulisan skripsi. Usulan rancangan penulisan skripsi ini memuat: judul skripsi, latar belakang masalah, identifikasi masalah termasuk pertanyaan penelitian, variable penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, batasan istilah, asumsi dan hipotesis, ringkasan tinjauan teoritis dari buku jurnal dan laporan penelitian yang relevan, metodologi yang mencakup sample, instrumen, dan teknik analisis, sistematika penulisan, dan agenda kegiatan penelitian.

Pada tahap persiapan ini kandidat dianjurkan untuk melakukan konsultasi atau diskusi dengan dosen yang memiliki spesialisasi dalam bidang kajian yang bersangkutan. Tujuannya adalah untuk memantapkan judul, permasalahan serta merodologi penelitian yang dicanangkan. Sehingga kandidat tidak hanya mendapatkan pengesahan, tetapi juga mendapatkan persetujuan dari pembimbingnya dengan dikeluarkannya SK Dekan tentang pembimbing.

Tahap berikutnya dalam membuat skripsi adalah tahap pelaksanaan penelitian dan bimbingan. Dalam tahap ini, setelah dikeluarkannya surat keputusan pengangkatan pembimbing, mahasiswa atau calon sarjana strata satu mulai bekerja di bawah bimbingan pembimbing yang telah ditunjuk. Apabila seorang mahasiswa keberatan atas seorang pembimbing yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan penggantian kepada ketua jurusan atau program studi.

Berdasarkan kesepakatan pembimbing dan mahasiswa peneliti, kegiatan-kegiatan penelitian dilaksanakan selama proses penelitian yang kemudian dilanjutkan dengan proses penulisan. Setiap hasil penelitian dan penulisan diajukan pada pertemuan antara pembimbing dan mahasiswa peneliti.

III. 4 Tesis

Tesis, menurut Djuharie (2001: 19) merupakan karangan ilmiah resmi akhir seorang mahasiswa dalam menyelesaikan program studi Strata Dua. Tesis merupakan bukti kemampuan yang bersangkutan dalam penelitian pengembangan ilmu pada salah satu disiplin ilmu. Tesis disusun dan dipertahankan untuk memperoleh gelar Master atau Magister.

Menurut Djuharie (2001: 19-20), tesis memiliki karakteristik sebagai berikut yang berfokus pada kajian mengenai salah satu isu sentral yang tercakup dalam salah satu disiplin ilmu, sesuai dengan disiplin yang dipelajari; merupakan pengujian empirik terhadap posisi teoritik tertentu dalam disiplin ilmu yang dipelajari, walaupun tidak harus menemukan suatu penemuan baru; menggunakan data primer (data yang dikumpulkan dari lapangan untuk penelitian lapangan) sebagai data utama, sedang untuk penelitian bibliografi, digunakan sumber yang otentik; dan, ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

III. 5 Disertasi

Disertasi, Djuharie berpendapat (2001: 20), merupakan karangan ilmiah resmi akhir seorang mahasiswa dalam menyelesaikan program Strata Tiga. Disertasi merupakan bukti kemampuan yang bersangkutan dalam penelitian yang berhubungan dengan penemuan baru dalam salah satu disiplin ilmu. Disertasi disusun dan dipertahankan untuk memperoleh gelar Doktor.

Menurut Djuharie (2001: 21), disertasi memiliki beberapa karakteristik, yakni: berfokus pada kajian mengenai salah satu isi disiplin ilmu yang sesuai dengan disiplin yang dipelajaro, kupasannya berfokus pada penemuan sesuatu yang baru dalam disiplin ilmu yang dikaji secara mendalam, menggunakan data primer sebagai data utama, dan ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Materi Kuliah Bahasa Indonesia 1 [05]

Universitas: Panca Marga
Fakultas: Sastra dan Filsafat
Program Studi: Sastra Inggris
Materi Perkuliahan: Bahasa Indonesia 1
Pertemuan ke: 5
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S
Pokok Bahasan: Keberadaan Bahasa Indonesia Ilmiah
Sub Pokok Bahasan: 1. Pengertian Bahasa Indonesia Ilmiah,
2. Ciri dan Karakter Bahasa Indonesia Ilmiah

KEBERADAAN BAHASA INDONESIA ILMIAH

I. Pengertian Bahasa Indonesia Ilmiah

Bahasa Indonesia Ilmiah adalah ragam bahasa Indonesia yang digunakan untuk kegiatan ilmiah oleh kelompok masyarakat terpelajar. Kegiatan ilmiah biasanya bersifat resmi. Sebagai kegiatan yang bersifat resmi, ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam kegiatan ini adalah ragam bahasa Indonesia baku. Jadi, bahasa Indonesia ilmiah adalah ragam bahasa Indonesia baku yang digunakan untuk kegiatan ilmiah oleh kelompok masyarakat terpelajar.

Meski sama-sama baku, tetapi ada perbedaan dalam penggunaan bahasa Indonesia baku untuk kegiatan kenegaran dengan untuk kegiatan ilmiah. Dalam kegiatan ilmiah, penggunaan bahasa Indonesia yang baku harus sesuai dengan sifat keilmuan yang meliputi: benar, logis cermat dan sistematis. Selain itu, menurut Nazar (2004: 8), penggunaan bahasa Indonesia dalam kegiatan ilmiah, baik apakah itu dalam bentuk tulis maupun lisan, yang juga harus diperhatikan adalah kelengkapan, kecermatan, dan kejelasan pengungkapan ide. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya salah tafsir dalam kegiatan ilmiah.

II. Ciri dan Karakter Bahasa Indonesia Ilmiah

Setiap ragam bahasa memiliki ciri khasnya masing-masing. Menurut Nazar (2004: 9), ciri ragam Bahasa Indonesia Ilmiah sebagai berikut:
1. Kaidah bahasa Indonesia yang digunakan harus benar sesuai dengan kaidah pada bahasa Indonesia baku, baik kaidah tata ejaan maupun tata bahasa (pembentukan kata, frasa, klausa, kalimat, dan paragraf).
2. Ide yang diungkapkan harus benar, sesuai dengan fakta yang dapat diterima akal sehat (logis).
3. Ide yang diungkapkan harus tepat dan hanya mengandung satu makna. Hal ini tergantung pada ketepatan memilih kata dan penyusunan struktur kalimat. Jadi, kalimat yang digunakan efektif.
4. Kata yang dipilih harus bernilai denotatif yaitu makna yang sebenarnya.
5. Ide diungkapkan dalam kalimat harus padat isi/ bernas. Oleh sebab itu, penggunaan kata dalam kalimat seperlunya, tetapi pemilihannya tepat.
6. Pengungkapan ide dalam kalimat ataupun alinea harus lugas yaitu langsung menuju pada sasaran.
7. Unsur ide dalam kalimat ataupun alinea diungkapkan secara runtun dan sistematis.
8. Ide yang diungkapkan dalam kalimat harus jelas sehingga tidak menimbulkan salah tafsir.

Selain ciri, ragam bahasa Indonesia yang digunakan untuk kegiatan keilmuan tersebut juga memiliki karakteristik. Menurut Suwignyo (2008: 11), bahasa Indonesia untuk kegiatan keilmuan memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Objektif. Dalam artian kata-kata yang digunakan harus netral/ tidak memihak dan berorientasi pada gagasan/ objeknya.
2. Ringkas dan Jelas.Komunikasi keilmuan adalah komunikasi lugas dan langsung pada inti informasi. Oleh sebab itu unsur bahasa yang digunakan juga lugas dengan menghindari kata-kata metaforis atau kata-kata konotatif. Komunikasi keilmuan harus langsung pada inti informasi dengan cara menggunakan unsur bahasa.
3. Cendekia. Dalam artian, kecermatan dalam pemilihan kata. Penulis harus mampu memilih kata dengan cermat sehingga pernyataannya terbentuk dengan tepat, cemat, logis, dan abstrak.
4. Formal. Artinya, bahasa Indonesia yang digunakan untuk kegiatan keilmuan haruslah bersifat formal.
5. Konsisten/ Taat Asas. Penggunaan unsur bahasa dalam karya keilmuan digunakan secara konsisten. Unsur kebahasaan yang dimaksud adalah kosakata/ istilah, bentukan kata, dan penggunaan singakatan. Dalam karya keilmuan jika sebuah istilah atau kata digunakan maka selanjutnya istilah/kata tersebut digunakan secara konsisten.

Mata Kuliah Bahasa Indonesia 1 [04]

Universitas: Panca Marga
Fakultas: Sastra dan Filsafat
Program Studi: Sastra Inggris
Materi Perkuliahan: Bahasa Indonesia 1
Pertemuan ke: 4
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pokok Bahasan: Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
Sub Pokok Bahasan: 1. Pengertian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan,
2. Kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN

I. Pengertian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

Ejaan tidak hanya berkaitan dengan cara mengeja suatu kata, tapi juga berkaitan dengan cara mengatur penulisan huruf menjadi satuan yang lebih besar, misalnya kata, kelompok kata atau kalimat. Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan bagaimana antarhubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan dan penggabungannya dalam suatu bahasa). Ia merupakan ketentuan yang mengatur penulisan huruf menjadi satuan yang lebih besar berikut penggunaan tanda bacanya.

Saat ini bahasa Indonesia menggunakan sistem Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan sebagai sistem tatabahasa yang resmi. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan tidak hanya meliputi pemakaian huruf, pemakaian huruf kapital dan huruf miring, penulisan kata, penulisan unsur serapan dan pemakaian tanda baca saja, melainkan juga meliputi pedoman umum pembentukan istilah dan pedoman pemenggalan kata.

Secara defenitif, Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah sistem ejaan bahasa Indonesia yang didasarkan pada Keputusan Presiden No. 57, tahun 1972 yang diresmikan pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Sistem ejaan ini, pada mulanya, disebarkan melalui buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Buku kecil ini merupakan buku patokan pemakaian sistem ejaan ini. Tetapi, di kemudian hari, karena buku penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Kemudian, pada Tahun 1987, kedua buku pedoman tersebut direvisi. Kemudian, edisi revisi dikuatkan dengan Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.

II. Kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

Sebelum diberlakukannya sistem ejaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dalam sistem tatabahasa bahasa Indonesia, ada beberapa sistem ejaan yang berlaku dalam tatabahasa bahasa Indonesia. Pada tahun 1901 ditetapkan sistem ejaan van Ophuijsen sebagai sistem ejaan yang berlaku resmi di Indonesia. Ejaan van Ophuijsen merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Perancang ejaan ini adalah seorang berkebangsaan Belana, vam Ophuijsen, dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.

Sistem ejaan ini berbeda dengan sistem ejaan dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Berbeda dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang menggunakan huruf y dalam menuliskan kata-kata yang, payah, atau sayang, Ejaan van Ophuijsen masih menggunakan huruf j untuk menuliskan kata-kata tersebut. Sementara untuk menuliskan kata-kata seperti guru, itu, umur, ejaan van Ophuijsen tidak menggunakan huruf u melainkan menggunakan huruf oe.

Setelah menggunakannya lebih dari empat puluh tahun lamanya, akhirnya ejaan van Ophuijsen tidak diberlakukan lagi. Keberadaannya diganti dengan ejaan Soewandi. Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947. Ejaan ini disebut juga ejaan Republik.

Dalam sistem ejaan ini, bahasa Indonesia sudah menggunakan huruf u untuk menuliskan kata-kata semacam guru, itu, umur. Tetapi masih seperti ejaan van Ophuijsen, ejaan ini juga masih menggunakan huruf j untuk menuliskan kata-kata seperti pajah, sajang, jang. Selain itu, tidak seperti Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, dalam ejaan Soewandi awalan di- dan kata depan di keduanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.

Hal tersebut jelas berbeda dengan sistem ejaan dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, kata depan di dan imbuhan di- ditulis dengan cara yang berbeda. Kata depan di pada di rumah, di kebun ditulis secara terpisah. Sementara imbuhan di- pada dimakan, ditulis tetap ditulis secara serangkai.

Selain ejaan van Ophuijsen dan ejaan Soewandi, bahasa Indonesia juga pernah memberlakukan ejaan Melindo. Ejaan ini dihasilkan pada akhir 1959 lewat sidang perutusan Indonesia dan Melayu. Tetapi karena perkembangan politik pada tahun-tahun berikutnya, ejaan ini urung diresmikan penggunaannya.

Rabu, 01 April 2009

Materi Kuliah Pengantar Filsafat [03-04]

Universitas: Panca Marga
Fakultas: Sastra dan Filsafat
Program Studi: Sastra Inggris
Materi Perkuliahan: Pengantar Filsafat
Pertemuan ke: 3 & 4
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pokok Bahasan: Cabang-cabang Filsafat
Sub Pokok Bahasan: 1. Epistemologi, 2. Metafisika, 3.
Logika, 4. Etika, 5. Estetika

CABANG-CABANG FILSAFAT

I. Pengertian Cabang Filsafat

Cabang-cabang filsafat adalah bidang-bidang studi filsafat. Ia merupakan cabang-cabang penyelidikan yang ada di dalam filsafat.

Aristoteles membagi filsafat menjadi tiga cabang, yakni filsafat spekulatif atau filsafat teoritis, filsafat praktika, dan filsafat produktif. Menurut Aritoteles, Filsafat spekulatif atau filsafat teoritis adalah filsafat yang bersifat objektif. Tujuan utama filsafat ini adalah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri. Fisika metafisika, biopsikologi, dsb adalah bidang-bidang filsafat yang termasuk dalam cabang filsafat ini. Filsafat praktika merupakan filsafat yang memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya. Sasaran filsafat ini adalah untuk membentuk sikap dan perilaku yang akan memampukan manusia untuk bertindak dalam terang pengetahuan. Yang termasuk dalam cabang filsafat ini adalah etika dan politik. Sementara filsafat produktif ialah filsafat yang membimbing dan menuntuk manusia untuk menjadi lebih produktif lewat suatu keterampilan khusus. Tujuannya agar manusia sanggup menghasilkan sesuatu, baik secara teknis maupun puitis dalam terang pengetahuan yang benar. Kritik sastra, retotika, dan estetika merupakan bidang-bidang dalam cabang filsafat ini.

Tetapi, perkembangan peradaban kehidupan manusia menuntut filsafat untuk lebih memperluas bidang penyelidikannya. Saat ini, cabang-cabang filsafat dapat dibagi menjadi lima cabang pokok: epistemologi, metafisika, logika, etika dan estetika.

II. Cabang-cabang Filsafat

II. 1 Epistemologi

Adakalanya, epistemologi disebut "teori pengetahuan". Secara etimologis, istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata episteme dan logos. Kata episteme berarti pengetahuan, sedangkan kata logos berarti kata, pikiran, percakapan, atau ilmu. Jadi, epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan, ilmu tentang pengetahuan.

Epistemologi adalah cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan. Ia menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Dalam epistemologi, pertanyaan-pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, tentang batas-batas pengetahuan, tentang asal dan jenis-jenis pengetahuan dibicarakan. Oleh sebab itu pertanyaan-pertanyaan seperti "apakah pengetahuan itu?", "apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan itu?" merupakan pertanyaan-pertanyaan yang biasa diajukan dalam cabang filsafat ini.

Di dalam epistemologi, ada beberapa teori yang biasa digunakan untuk menilai kesahihan pengetahuan, pertama, teori kesahihan koherensi (coherence theory of truth). Teori ini menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan) diakui sahih jika proposisi itu memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika.

Teori kedua yang biasa digunakan untuk menilai kesahihan pengetahuan dalam epistemologi adalah teori kesahihan korespondensi/ saling bersesuaian (correspondence theory of truth). Menurut teori ini, suatu pengetahuan itu sahih apabila proposisi bersesuaian dengan realitas yang menjadi objek pengetahuan itu. Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi. Dengan demikian, kesahihan pengetahuan itu dapat dibuktikan secara langsung.

Teori kesahihan pragmatis (pragmatical theory of truth) adalah teori kesahihan pengetahuan ketiga dalam epistemology. Teori ini menegaskan bahwa pengetahuan itu sahih jika proposisinya memiliki konsekuensi-konsekuensi kegunaan atau benar-benar bermanfaat bagi yang memiliki pengetahuan itu. Teori ini adalah teori kesahihan yang telah dikenal secara tradisional.

Teori berikutnya yang biasa digunakan dalam epistemologi adalah teori kesahihan semantik (semantic theory of truth). Teori ini adalah teori yang menekankan arti dan makna suatu proposisi. Bagi teori ini, proposisi harus menunjukkan arti dan makna sesungguhnya yang mengacu kepada referan atau realitas dan bisa juga arti definitive yang menunjuk ciri khas yang ada.

Teori kesahihan logika yang berlebihan (logical superfluity theory of truth) adalah teori kelima yang biasa digunakan dalam epistemologi untuk menilai kesahihan suatu pengetahuan. Teori ini hendak menunjukkan bahwa proposisi logis yang memiliki termin berbeda tetapi berisi informasi sama tak perlu lagi dibuktikan, atau ia telah menjadi suatu bentuk logika yang berlebihan. Misalnya, siklus adalah lingkaran atau lingkaran adalah bulatan. Dengan demikian proposisi lingkaran itu bulan tak perlu dibuktikan lagi kebenarannya.

II. 2 Metafisika

Kata metafisika saat ini memiliki banyak arti. Ia bisa berarti upaya untuk mengkarakterissi esistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan, atau juga bisa bisa berarti usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki apakah hakikat yang berada di balik realitas. Secara etimologis, kata metafisika ini berasal dari bahasa Yunani meta ta physika yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika. Kata ini merupakan kata bentukan dari kata meta yang berarti setelah, melebihi, dan kata physikos yang berarti menyangkut alam.

Metafisika adalah suatu pembahasan filsafati yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada. Ia bersangkut paut dengan pertanyaan mengenai hakekat 'yang-ada' yang terdalam. Menurut Bagus (2000: 624-625), metafisika memiliki beberapa pengertian, yakni:
(1) kajian menyeluruh, koheren dan konsisten tentang realitas (keberadaan, alam semesta) sebagai suatu keseluruhan;
(2) studi tentang yang-ada dan bukan tentang yang-ada dalam bentuk suatu keberadaan particular (barang, objek, entitas, aktivitas);
(3) studi tentang ciri-ciri alam semesta yang sangat umum, bersifat tetap, dan mencakup: eksistensi, perubahan, waktu, hubungan sebab-akibat, tempat, substansi, identitas, keunikan, perbedaan, kesatuan, keanekaan, kesamaan, ketunggalan;
(4) studi tentang realitas akhir-realitas sebagaimana terbentuk dalam dirinya sendiri yang terpisah dari tampakan-tampakan yang bersifat ilusif yang disajikan dalam persepsi kita;
(5) studi tentang dasar (prinsip, alasan, sumber, sebab) eksistensi segala sesuatu yang mendasari, serta penuh dalam dirinya sendiri, yang tidak tergantung dan yang sepenuhnya menentukan sendiri, yang justru menjadi dasar bagi eksistensi yang lain;
(6) studi tentang suatu realitas transenden yang merupakan sebab (sumber) semua eksistensi;
(7) studi tentang segala sesuatu yang bersifat rohani (gaib, adikodrati, supranatural, immaterial) dan yang tidak dapat diterangkan dengan metode-metode penjelasan yang ditemukan dalam ilmu-ilmu alam;
(8) studi tentang apa yang berdasarkan kodratnya harus ada dan tidak dapat menjadi selain dari apa adanya;
(9) studi kritis terhadap asumsi-asumsi (praduga-praduga, keyakinan-keyakinan dasar) yang mendasari, yang digunakan oleh sistem-sistem pengetahuan kita dalam pernyataannya tentang apa yang nyata.

Metafisika dibagi menjadi metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum biasa disebut juga Ontologi. Istilah ini muncul sekitar pertengahan abad ke 17. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani on atau ontos dan logos. Kata on atau ontos berarti ada atau keberadaan, sementara kata logos berarti studi atau ilmu tentang.

Metafisika umum atau ontologi, berbicara tentang segala sesuatu secara sekaligus. Ia berbicara tentang segala sesuatu sejauh itu "ada". Ia membicarakan asa-asa rasional dari yang ada, selain itu ia juga berusaha untuk mengetahui esensi terdalam dari 'yang-ada'. Bagi metafisika umum, "adanya" segala sesuatu merupakan suatu "segi" dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan mahluk-mahluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.

Dalam metafisika umum, pembahasan mengenai segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi yang sesungguhnya dari penampakan atau penampilan eksistensi itu. Oleh karena itu, metafisika umum senantiasa memulai penyelidikannya dengan pertanyaan-pertanyaan semacam "apakah kenyataan itu merupakan kesatuan atau tidak?", "apakah alam raya adalah peredaran abadi di mana semua gejala selalu kembali,, seperti dalam siklus musim-musim, atau justru suatu proses perkembangan?"

Menurut Bagus (2000: 764-767) metafisika khusus atau ontologi merupakan:
(1) studi tentang ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus;
(2) cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/ menjadi, aktualitas/ potensialitas, nyata/ tampak, perubahan, waktu, eksistensi/ noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang-ada sebagai yang-ada, ketergantungan pada diri sendiri, han mencakupi diri sendiri, hal-hal terakhir, dasar;
(3) cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna), menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya, menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu;
(4) cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan "apa arti 'ada', 'berada'?", yang menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan ADA, berada;
(5) cabang filsafat yang menyelidiki status realitas suatu hal (misalnya: "apakah objek pencerapan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)?", "apakah bilangan itu nyata?", "apakah pikiran itu nyata?"), yang menyelidiki jenis realitas yang dimiliki (misalnya: "apakah jenis realitas yang dimiliki bilangan? Persepsi? Pikiran?"), dan yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas dan/ atau ilusi (misalnya" "apakah realitas-atau ciri ilusif-suatu pikiran atau objek tergantung pada pikiran kita, atau pada suatu sumber yang eksternal yang independen?").

Selain metafisika umum atau ontology, metafisika juga dibagi ke dalam metafisika khusus yang meliputi teologi metafisik, filsafat antropologi, dan kosmologi.

Teologi metafisik berhubungan erat dengan ontologi, karena cabang filsafat ini menyelidiki apa yang dapat dikatakan tentang adanya Allah, lepas dari agama, lepas dari wahyu. Dengan kata lain, eksistensi Allah hendak dipahami secara rasional. Dalam cabang filsafat ini, Allah menjadi suatu sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan lewat metode ilmiah.

Karena menekankan penyelidikannya pada eksistensi Allah, cabang filsafat ini sering kali dijumbuhkan dengan sebutan "teodise". Penyebutan teologi metafisik ini dengan "teodise" kurang cocok, sebab teodise sendiri sebenarnya hanyalah bagian dari cabang filsafat ini. Ini karena teodise adalah cabang filsafat yang mencoba menerangkan bahwa kepercayaan kepada Allah tidak bertentangan dengan kenyataan kejatahan. Atau dalam kata lain, teodise hanya membahas dan membenarkan kepercayaan Allah Yang Mahakuasa di tengah-tengah realitas kejahatan yang merajalela di dunia ini. Jadi, apa yang dibicarakan oleh teodise hanyalah satu bagian dari pembicaraan teologi metafisik.

Secara tradisional, teologi metafisik terdiri dari pembicaraan tentang bukti-bukti untuk adanya Allah, dan pembicaraan tentang nama-nama ilahi. Descartes, Thomas Aquinas, dan Immanuel Kant adalah beberapa nama dari banyak nama filsuf yang terkenal dalam pembicaraan teologi metafisik.

Metafisika khusus lainnya adalah filsafat antropologi. Filsafat antropologi merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang manusia. Ia berupaya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti "apakah manusia itu?", "apakah hakekat manusia itu?". Atau dengan kata lain, filsafat antropologi merupakan filsafat yang membicarakan manusia sebagaimana adanya, baik apakah itu menyangkut esensi, eksistensi, status, ataupun relasi-relasinya.

Kata antropologi yang berada dalam istilah filsafat antropologi ini berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti manusia. Socrates dapat dikatakan merupakan pelopor dari cabang filsafat ini.

Kosmologi juga merupakan cabang dari metafisika khusus. Secara etimologis, istilah kosmologi yang kita kenal saat ini berasal dari dua kata Yunani kosmos dan logos. Kata kosmos berarti duania atau ketertiban, sedangkan kata logos berarti kata, percakapan atau ilmu. Jadi kosmologi berarti percakapan tentang dunia atau alam dan ketertiban yang paling fundamental.

Cabang filsafat ini memandang alam sebagai suatu totalitas dari fenomena dan berupaya untuk memadukan spekulasi metafisik dengan evidensi ilmiah di dalam suatu kerangka yang koheren. Ia membicarakan asas-asas rasional dari 'yang-ada yang teratur'. Ia berusaha mengetahui ketertiban serta susunannya. Hal-hal yang biasa disorot dan dipersoalkan dalam kosmologi adalah mengenai ruang dan waktu, perubahan, kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan dan keabadian, dengan menggunakan metode yang bersifat rasional. Dalam perkembangannya, cabang filsafat ini banyak memberi bantuan bagi ilmu-ilmu alam.

II. 3 Logika

Logika merupakan cabang filsafat yang tidak mengajar apa pun tentang manusia atau dunia. Ia merupakan suatu teknik atau "seni" yang mementingkan segi fomal, bentuk dari pengetahuan. Logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu. Ia adalah cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berpikir, aturan-aturan mana yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan yang kita lontarkan sah.

Berpikir merupakan obyek material logika. Logika menyelidiki, merumuskan serta menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati agar dapat berpikir lurus, tepat, dan teratutur. Asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat dan sehat merupakan lapangan keilmuan logika.

Istilah logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium (334-262 SM). Secara etimologis, istilah logika adalah istilah yang dibentuk dari kata Yunani logikos. Kata logikos ini berasal dari kata logos yang berarti sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal (pikiran), kata, percakapan, dan bahasa. Sementara kata logikos sendiri berarti mengenai sesuatu yang diutarakan, mengenai suatu pertimbangan akal (pikiran), mengenai kata, mengenai percakapan, atau yang berkenaan dengan bahasa. Jadi, secara etimologis, logika berarti suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.

Logika dapat dibedakan atas dua macam, yakni logika kodratiah dan logika ilmiah. Logika kodratiah adalah logika yang berkerja berdasarkan hukum-hukum logika yang berasal dari akal budi manusia yang muncul dengan cara spontan. Sementara logika ilmiah ialah logika yang yang berkerja menurut hukum-hukum logika ilmiah. Meski kedua hal ini dapat dibedakan, tetapi kedua macam logika ini tidak dapat dipisahkan. Karena logika ilmiah membantu logika kodratiah.

Akal budi dapat bekerja menurut hukum-hukum logika dengan cara yang spontan. Tetapi dalam hal-hal yang sulit baik akal budinya maupun seluruh diri manusia dapat dan nyatanya dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Selain itu, baik manusia sendiri maupun perkembangan pengetahuannya sangat terbatas.

Hal semacam ini menyebabkan bahwa kesesatan tidak dapat dihindarkan. Namun dalam diri manusia sendiri juga terasa adanya kebutuhan untuk menghindarkan sekesatan itu. Untuk menghindarkan kesesatan itu diperlukan suatu ilmu khusus yang merumuskan asas-asas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran.

Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Berkat pertolongan logika ini akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Sehingga kesesatan dapat dihindarkan, atau paling tidak dikurangi.

Logika dibagi dalam dua cabang utama, yakni logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif disebut juga logika formal. Logika ini membucarakan susunan proposisi-proposisi dan penyimpulan yang sifat keharusannya berdasarkan atas susunannya. Ia berusaha menemukan aturan-aturan yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat keharusan dari satu premis tertentu atau lebih. Dalam logika ini, ada perangkat aturan yang dapat diterapkan hampir-hampir secara otomatis. Contoh: bila a termasuk b, dan b termasuk c, maka a termasuk dalam c.

Logika induktif mencoba untuk menarik kesimpulan tidak dari susunan proposisi-proposisi, melainkan dari sifat-sifat seperangkat bahan yang diamati. Ia mencoba untuk bergerak dari satu perangkat fakta yang diamati secara khusus menuju ke pernyataan yang bersifat umum mengenai semua fakta yang bercorak demikian, atau dari suatu perangkat akibat tertentu menuju kepada sebab atau sebab-sebab dari akibat-akibat tersebut. Dalam logika induktif hukum-hukumnya bersifat probalilitas.

II. 4 Etika

Etika merupakan cabang filsafat yang sangat berpengaruh sejak zaman Socrates (470-399 SM). Etika adalah cabang filsafat yang berbicara tentang "praksis" manusiawi, tentang tindakan. Ia merupakan cabang filsafat yang bersangkutan dengan tanggapan-tanggapan mengenai tingkah laku yang betul.

Etika juga sering disebut sebagai filsafat moral, karena ia menyelidiki semua norma moral. Istilah etika berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa. Sementara ethikos berarti susila, keadaban atau kelakukan dan perbuatan yang baik. Jadi, etika adalah cabang filsafat yang membahas mengenai naik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia.

Etika tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia itu, tetapi bagaimana manusia itu seharusnya berbuat atau bertindak. Ia berusaha untuk menemukan fakta-fakta mengenai situasi kesusilaan agar dapat menerapkan norma-norma terhadap fakta-fakta. Tujuannya untuk menemukan norma-norma bagi hidup lebih baik.

Beberapa ahli membagi etika ke dalam tiga bidang studi, yakni etika deskriptif, etika normatif dan metaetika.

Etika deskriptif adalah etika yang mencoba menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan penerimaan moral secara deskriptif. Ia senantiasa bertolak dari kenyataan ada berbagai fenomena yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah. Ia berusaha memberikan gambaran dari gejala kesadaran moral ("suara batin") dari norma-norma dan konsep etis. Etika ini digolongkan ke dalam bidang studi empiris dan berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam hubungannya dengan sosiologi, etika ini berusaha menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan, dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu.

Etika normatif kerap kali disebut juga filsafat moral (moral philosophy) atau etika filsafati. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk dan penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik dan buruk, benar dan salah. Tidak seperti etika deskriptif, etika normatif tidak berbicara tentang gejala-gejala, melainkan apa yang sebenarnya harus merupakan tindakan manusia. Dalam etika normative, norma-norma dinilai dan sikap manusia ditentukan.

Metaetika merupakan suatu studi analitis terhadap disiplin etika. Secara khusus, metaetika menyelidiki dan menetapkan arti serta makna istilah-istilah normatif yang diungkapkan lewat pernyataan-pernyataan etis yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan. Dalam metaetika, logika perbuatan dalam kaitan dengan "baik" dan "buruk", "benar" dan "salah" coba untuk dianalisa.

II. 5 Estetika

Istilah estetika diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762) lewat salah satu karyanya. Menurutnya, estetika merupakan ilmu pengetahuan tentang keindahan. Secara etimologis, kata estetika berasal dari kata dalam bahasa Yunani aesthesis yang berarti pengamatan, pencerapan inderawi atau pemahaman intelektual.

Estetika merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan seni dan keindahan. Secara sederhana, dapat dikatakan, bahwa keindahan merupakan objek dari estetika. Sebab, dalam estetika, definisi, susunan, dan peranan keindahan, khususnya di dalam seni, dibicarakan dalam estetika.

Karena objek estetika adalah keindahan, maka estetika tidak mempersoalkan seorang seniman. Tapi estetika menyelidiki apa-apa saja yang disebut "indah", prinsip-prinsip yang emndasari seni dan keindahan, pengalaman yang bertalian dengan seni dan keindahan, seperti penciptaan seni, penilaian terhadap seni atau perenungan atas seni dan keindahan. Dengan kata lain, dalam estetika, hakikat keindahan, bentuk-bentuk pengalaman keindahan (seperti keindahan jasmani, keindahan rohani, keindahan seni dan keindahan alam), dan diselidiki emosi-emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, yang agung, yang tragis, yang bagus, yang mengharuskan dsb dibicarakan.

Estetika dibedakan ke dalam dua bagian, yakni estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskreptif menggambarkan gejala-gejala pengalaman keindahan. Ia menguraikan dan melukiskan fenomena pengalaman keindahan. Sedangkan estetika normatif mencari dasar pengalaman keindahan. Ia mempersoalkan dan menyelidiki hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan apakah keindahan itu akhirnya sesuatu yang objektif (terletak dalam karya seni) atau justru subjektif (terletak dalam mata manusia sendiri).