Rabu, 25 Maret 2009

Materi Kuliah Theory of Literature [03]

Universitas: Panca Marga
Fakultas: Sastra & Filsafat
Mata Kuliah: Theory of Literature/ Teori Sastra
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pertemuan ke: 3
Pokok Bahasan: New Criticism

NEW CRITICISM

New Criticism (Kritik Sastra Baru) muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1920-an dan terus berkembang sampai dengan tahun 1960-an. Robert Penn Warren, Alan Tate, Cleanth Brooks, W.K. Wimsatt, Jhon Crowe Ransom, dan Monroe Breadsley adalah sedikit nama dari banyak nama yang merupakan tokoh-tokoh dari teori kritik sastra ini.

Pada mulanya, New Criticism muncul sebagai reaksi terhadap teori kritik sejarah sastra dan kritik sastra biografi yang terlalu menempatkan unsur-unsur ekstrinsik dari karya sastra, seperti sejarah dari satu karya sastra atau biografi seorang pengarang, sebagai sesuatu yang penting dalam menganalisis karya sastra, tanpa pernah masuk ke dalam unsur-unsur intrinsik satu karya sastra itu sendiri. New Criticism, berusaha membalik semua itu dengan menempatkan unsur-unsur intrinsik karya sastra sebagai objek penting dalam praktek analisis sastra. Bagi New Criticism, sastra merupakan satu kesatuan yang telah selesai, sebuah gejala estetika yang pada saat penyelesaiannya meninggalkan syarat-syarat subyektifnya, dan hanya dengan menganalisa susunan dan organisasi sebuah karya sastra, dapat diperlihatkan karya seni itu menurut arti yang sesungguhnya.

New Criticism menitikberatkan perhatian mereka pada unsur intrinsik karya sastra, tanpa memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik, dan juga tanpa memperhatikan biografi penulisnya. Sastra, dalam pandangan New Criticism, merupakan satu figur spesial, satu objek swadaya (self-sufficient) yang sama solidnya dan bersifat material seperti jambangan atau ikon. Ia adalah sesuatu yang otonomon, mandiri dan berdiri sendiri, serta tidak tergantung pada unsur-unsur lain di luar sastra itu sendiri. Oleh karena itu, sastra, menurut New Criticism, harus menjadi objek dalam dirinya sendiri, ia harus memisahkan diri dari pengarang maupun pembaca. Pendekatan semacam itu membuat New Criticism dikenal sebagai pendekatan yang memiliki sifat ergosentrik. Pendekatan bersifat ergosentrik merupakan pendekatan yang mengarahkan perhatian kepada karya sastra sendiri (ergosentris), lepas dari pengarung pengarangnya (intentional fallacy), riwayat terjadinya serta pendapat pembaca (affective fallacy) dan kaum kritisi (herey of paraphrase).

Sastra, menurut New Criticism, merupakan sesuatu yang dibentuk dengan baik sehingga tak ada satu pun bagiannya yang dapat dihilangkan atau diganti. Ia merupakan satu kesatuan organik yang kompleks dan unik di mana makna harus dicari dalam sintaksis dan semantiknya dengan sarana dan bekal pengetahuan kebahasaan dan kesastraan. Dalam menghadapi karya sastra yang tersedia bagi New Criticism hanya meaning, makna karya itu, dan hanya itulah yang dapat dipahami dan dikupasnya, tanpa jalan lain untuk mengikutsertakan niat atau maksud pengarang (intentional fallacy) karena pengetahuan mengenai riwayat hidup atau pendirian penulis, juga dalam penciptaan karyanya, tersebut tidak membantu untuk memahami karya itu dengan lebih baik, bahkan sering mengelirukan.

New Criticism berpendapat bahwa dalam melakukan pendekatan atau analisis terhadap karya sastra yang diperlukan ialah pendekatan intrinsik yang menekankan struktur karya sastra sendiri. Berdasarkan paradigma ini, maka New Criticism pun menolak emosi atau afeksi, sikap keterharuan pembaca sebagai kriteria atau jalan untuk memahami karya dengan lebih tepat. Menurut mereka, jurang antara emosi pembaca dan makna karya tidak dapat dijembati oleh pengkritik sastra dengan alat yang diberikan kepadanya, yaitu teks karya itu sendiri. Yang ada dan yang tinggal bagi pengkritik sastra hanya kata-kata karya. Jadi, kesan pembaca (affective fallacy) terhadap satu teks sastra pun ditolak karena dianggap dapat menyebabkan kesesatan dalam melakukan analisis.

Untuk itu, New Criticism menyarankan bahwa dalam mendekati atau menganalisis karya sastra yang harus dilakukan pertama kali adalah dengan melakukan pembacaan secara mikroskopik terhadap karya sastra. Metode pembacaan ini dikenal dengan istilah close reading. Close reading merupakan metode pembacaan terhadap karya sastra yang berusaha mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetail. Ini bertujuan agar tak ada satu pun bagian dari karya sastra yang sedang diamati terlepas dari pengamatan, sebab semua bagian dalam karya sastra, sekecil apa pun bagian tersebut, merupakan bagian yang tidak mungkin dipisahkan.

Pembacaan secara close reading membuat karya sastra menjadi hidup, menjadi konkret (concret) dalam benak pembaca. Selain itu, pembacaan dengan metode ini membuat analisis menemukan tekanannya pada kerja yang bersifat empirik, karena ia melakukan observasi langsung terhadap teks dan bukan hal-hal di luar teks. Oleh sebab itu, New Criticism juga mengandaikan adanya empirisme dan konkretisasi dalam melakukan pendekatannya atau kerja analisisnya terhadap satu karya sastra.

Bagi New Criticism, metode pembacaan secara close reading ini bertujuan untuk menemukan atau menggali struktur karya sastra yang terdiri dari ambiguitas, paradoks, dan ironi. Menurut New Criticism, struktur karya sastra adalah struktur dalam tatarannya yang individual. Ia bukanlah 'bentuk' dalam pengertian konvensional di mana bentuk diartikan sebagai amplop yang memuat 'isi'. Ia jelas berada di mana-mana dan terkondisi oleh sifat materi yang ada dalam puisi. Sifat materi menentukan masalah yang perlu dipecahkan, dan pemecahannya ialah penyusunan materi itu.

Struktur, dalam pandangan New Criticism, adalah struktur makna, evaluasi, dan penafsiran; dan prinsip kesatuan yang menjelaskan kelihatan merupakan prinsip menyeimbangkan dan mengharmoniskan konotasi, sikap, dan makna. Dan ia menyatukan hal-hal yang sama dengan hal-hal yang berbeda. Namun, ia tidak menyatukannya dengan suatu proses sederhana yang memungkinkan satu konotasi menghapuskan konotasi lainnya; demikian pula ia tidak mengurangi sikap-sikap yang bertentangan menjadi harmoni melalui proses pengurangan. Struktur tersebut merupakan kesatuan yang positif, tidak negatif; ia tidak merupakan sisa, melainkan suatu harmoni yang dapat diperoleh. Konsep inilah yang menggabungkan kesatuan dan keberagaman yang mengantar New Criticism pada penggunaan yang terbiasa dalam mengkritik istilah-istilah seperti 'ambiguitas', 'paradoks', 'kompleksitas sikap', dan khususnya 'ironi'.

Menurut New Criticism, makna karya sastra bukanlah makna denotasi tapi makna konotasi, karena bahasa sastra berbeda dengan bahasa sains atau bahasa pada umumnya. Bahasa sastra tidak menunjuk langsung, tapi mengandaikan. Pengandaian ini membuat makna karya sastra menjadi sangat luas dan bebas. Oleh karena itu, makna karya sastra adalah makna yang ambigu. Kecenderungan adanya ambiguitas makna ini membuat karya sastra berada pada ketegangan-ketegangan. Ketegangan-ketegangan ini menciptakan sifat paradoks dalam karya sastra. Secara umum, paradoks dapat dipahami sebagai gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks ini menghadirkan gambaran kompleksitas sikap dari karya sastra, juga melahirkan ironi.

Dalam ironi, segala sesuatunya bermakna berlawanan dengan makna sesungguhnya. Ironi ini banyak bentuknya, ada ironi verbal yang merupakan lawan atau kenalikan dari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksud sesungguhnya. Ada ironi dramatik yang merupakan lawan atau kebalikan dari apa yang diketahui tokoh dalam satu karya sastra dan apa yang diketahui oleh pembaca. Dan yang terakhir ada ironi situasi yang merupakan lawan atau kebalikan antara harapan atau prasangka dan hasil dari harapan atau prasangka tersebut.

Untuk menciptakan ambiguitas, paradoks, ironi dan kompleksitas sikap tersebut, karya sastra, menurut New Criticism, senantiasa menggunakan bahasa kiasan, baik apakah itu berupa metafora, yang merupakan perbandingan antara satu objek dengan objek lainnya tanpa penggunaan kata pembanding, ataupun simile, yang merupakan pembadingan antara objek satu dengan lainnya dengan menggunakan kata-kata pembanding. Keberadaan bahasa kiasan ini pula yang membuat makna dari satu karya sastra senantiasa bersifat konotasi bukan denotasi.

Melihat kerja dari New Criticism tersebut, maka tidak mengherankan apabila New Criticism menganggap bahwa dalam karya sastra antara bentuk dan isi merupakan satu kesatuan yang bulat. Dan setiap bentuk yang ada pada karya sastra senantiasa tunduk pada makna. Karena itu, bagi New Criticism, adalah penting untuk mencari makna dari satu karya sastra sebab dengan menemukan makna dari satu karya sastra, bentuk dari satu karya sastra tersebut juga dapat dikenali.

Pendekatan yang menitikberatkan secara intriksik inilah yang membuat New Criticism menjadi sangat populer di kalangan akademisi. Karena pendekatan ini menyediakan metode pedadogis yang cocok bagi kalangan akademisi.

Kamis, 12 Maret 2009

Materi Kuliah Bahasa Indonesia 1 [03]

Materi Perkuliahan: Bahasa Indonesia 1
Pertemuan ke: 3
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pokok Bahasan: Kedudukan Bahasa Indonesia
Sub Pokok Bahasan: 1. Pengertian Bahasa Indonesia, 2. Sejarah Bahasa Indonesia,
3. Ragam Bahasa Indonesia



KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA

I. Pengertian Bahasa Indonesia

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menggunakan bahasa Indonesia. Ia merupakan bahasa yang penting di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilihat dari kedudukannya dalam khazanah kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa Indonesia memiliki dua pengertian, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara.

Bahasa Indonesia, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, didasarkan pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, terutama butir ketiga yang berbunyi: "Kami putra dan putrid Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sementara dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945, Bab XV, Pasal 36 yang berbunyi, "Bahasa negara adalah bahasa Indonesia".

Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi. Pertama, sebagai lambang kebanggaan nasional. Artinya, bahwa bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai social budaya yang mendasari rasa kebangsaan bangsa Indonesia.

Fungsi kedua dari bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional adalah sebagai lambang jati diri atau identitas nasional. Artinya, bahwa bahasa Indonesia merupakan cerminan kepribadian bangsa Indonesia secara eksistensi.

Selain sebagai lambang jati diri atau identitas nasional, bahasa Indonesia dalam kedudukannnya sebagai bahasa nasional juga memiliki fungsi sebagai alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial, budaya, dan bahasanya. Artinya, bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat komunikasi di seluruh pelosok Indonesia.

Fungsi terakhir yang dimiliki oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah sebagai alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Artinya, bahwa dengan adanya bahasa Indonesia dan penggunaan bahasa Indonesia bangsa Indonesia mendahulukan kepentingan nasional ketimbang kepentingan daerah, suku ataupun golongan.

Tadi telah dipaparkan, bahwa bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki beberapa fungsi. Pertama sebagai bahasa resmi negara.

Sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia digunakan untuk berbagai keperluan kenegaraan, baik lisan maupun tulis, seperti pidato-pidato kenegaraan, dokumen-dokumen resmi negara, dan sidang-sidang yang bersifat kenegaraan. Semua itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya.

Fungsi kedua bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam fungsinya ini, bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana penyampai ilmu pengetahuan kepada anak didik di bangku pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, baik negri maupun swasta.

Selain sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara, juga memiliki fungsi sebagai bahasa resmi dalam perhubungan pada tingkat nasional, baik untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan maupun untuk kepentingan pemerintahan. Artinya, bahwa bahasa Indonesia tidak saja hanya digunakan sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat luas, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi penduduk di seluruh pelosok Indonesia.

Fungsi terakhir dari bahasa Indonesia sebagai bahasa negara adalah sebagai bahasa resmi di dalam kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Artinya, bahwa bahasa Indonesia dipakai sebagai alat untuk mengembangkan dan membina iptek dan kebudayaan nasional sehingga tercipta satu ciri khas yang menandakan satu kesatuan negara Indonesia dan bukannya kedaerahan.

II. Sejarah Bahasa Indonesia

Untuk dapat meraih kedudukannya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang.

Telah diketahui bersama bahwa bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini berasal dari bahasa Melayu. Ada beberapa alasan yang menyebabkan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Pertama, bahwa bahasa melayu merupakan lingua franca (bahasa yang dipergunakan sebagai alat komunikasi sosial di antara orang-orang yang berlainan bahasanya) di Indonesia.

Jauh sebelum bahasa Indonesia ada dan dipergunakan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara di Indonesia, bahasa Melayu sudah terlebih dahulu menjadi alat komunikasi di Indonesia. Ini dapat dilihat dari banyaknya prasasti-prasasti pada zaman kerajaan Sriwijaya (kisaran abad VII) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu, seperti prasasti di Talang Tuwo, Palembang yang berangka tahun 684, prasasti di Kota Kapur, Bangka Barat yang berangka tahun 686, ataupun prasasti Karang Brahi yang berangka tahun 686.

Selain itu, keberadaan bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia juga dapat dilihat dari daftar kata-kata yang disusun oleh seorang Portugis bernama Pigafetta pada tahun 1522. Daftar tersebut dia susun berdasarkan kata-kata dari bahasa Melayu yang ada dan tersebar penggunaan di kepulauan Maluku. Atau juga pada surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah kolonial Belanda. Surat keputusan yang bernomor K.B. 1871 No. 104 menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumi putera diberi dalam bahasa Daerah, kalau tidak dipakai bahasa Melayu.

Alasan kedua yang meyebabkan diangkat bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah kesederhanaan sistem bahasa Melayu yang tidak memiliki tingkatan. Tidak seperti bahasa Jawa yang memiliki tingkatan seperti kromo, kromo madya, dan ngoko, bahasa Melayu tidak mengenal sistem tingkatan seperti itu. Bahasa Melayu tidak mengenal tingkatan-tingkatan dalam sistem berbahasanya inilah yang menciptakan kesan bahasa Melayu mudah untuk dipelajari.

Selain itu, diterima dan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia disebabkan karena kerelaan berbagai suku di Indoensia untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia. Bentuk kerelaan ini puncaknya terjadi pada Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 yang melahirkan teks Naskah Sumpah Pemuda, yang salah satu butirnya berbunyi, "Kami putra dan putrid Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Alasan keempat atau alasan terakhir yang menyebabkan diangkatnya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia adalah kesanggupan bahasa Melayu untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas. Kesanggupan ini dibuktikan dengan keberadaan bahasa Melayu yang merupakan alat perhubungan antara orang-orang yang berlainan bahasanya di Indonesia. Sebagai alat perhubungan tersebut, bahasa Melayu telah mampu membuktikan kemampuannya dalam menterjemahkan segala perilaku dan bentuk-bentuk budaya yang ada di Indonesia, sehingga mereka yang berada di luar wilayah kebudayaan Indonesia pun dapat memahami segala bentuk dan perilaku kebudayaan yang ada di Indonesia.

III. Ragam Bahasa Indonesia

Dalam praktek pemakaiannya bahasa memiliki banyak ragam. Secara sederhana, ragam bahasa dapat diartikan sebagai variasi pemakaian bahasa yang timbul sebagai akibat adanya sarana, situasi, norma dan bidang pemakaian bahasa yang berbeda-beda. Merujuk pada pengertian tersebut, maka ragam bahasa dapat dilihat dari empat segi, yaitu: (a) segi sarana pemakaiannya, (b) segi situasi pemakaiannya, (c) segi norma pemakaiannya, dan (d) segi bidang pemkaiannya.

Berdasarkan segi sarana pemakaiannya, bahasa Indonesia dapat dibedakan atas dua ragam, yakni tulis dan lisan. Ragam bahasa Indonesia tulis adalah variasi bahasa Indonesia yang dipergunakan dengan medium tulisan. Sementara ragam bahasa Indonesia lisan adalah ragam bahasa Indonesia yang diungkapkan dalam bentuk lisan.

Antara ragam bahasa lisan dan bahasa tulis terdapat beberapa perbedaan, sebagai berikut:
a. Ragam bahasa lisan menghendaki adanya orang kedua yang bertindak sebagai lawan bicara orang pertama yang hadir di dapan, sedangkan dalam ragam tulis keberadaan orang kedua yang bertindak sebagai lawan bicara tidak harus ada atau hadir di hadapan.
b. Dalam ragam bahasa lisan unsur-unsur fungsi gramatikal seperti subjek, predikat dan objek tidak selalu dinyatakan, bahkan terkadang (dan tak jarang) unsure-unsur tersebut ditinggalkan. Ini disebabkan karena bahasa yang digunakan tersebut dapat dibantu oleh gerak, mimik, pandangan, anggukan atau intonasi. Sementara pada ragam bahasa tulis fungsi-fungsi gramatikal senantiasa dinyatakan dengan jelas. Ini semata karena ragam tulis menghendaki agar orang yang "diajak bicara" mengerti isi dari sebuah tulisan yang disampaikan.
c. Ragam bahasa lisan terikat pada kondisi, situasi, ruang, dan waktu. Sementara ragam bahasa tulis tidak, karena ia memuat kelengkapan unsur-unsur fungsi gramatikal dan ketatabahasaan.
d. Ragam bahasa lisan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya dan panjang atau pendeknya suara, sementara ragam bahasa tulis dilengkapi dengan tanda baca, huruf besar dan huruf miring.

Selain dilihat dari segi sarana pemakaiannya, ragam bahasa Indonesia juga dapat dilihat dari situasi pemakaiannya. Dari segi situasi pemakaiannya, ragam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi ragam bahasa Indonesia resmi dan ragam bahasa Indonesia tak resmi.

Ragam bahasa Indonesia resmi disebut juga ragam bahasa Indonesia formal. Ia merupakan ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi formal. Sebagai ragam bahasa yang digunakan dalam situasi resmi atau formal, keberadaannya ditandai dengan pemakaian unsur-unsur kebahasaan yang memperlihatkan tingkat kebakuan yang tinggi.

Ragam bahasa Indonesia resmi memiliki bentuk ragamnya yang berupa lisan dan tulis. Dalam bentuk lisan, ragam bahasa Indonesia resmi dapat dijumpai pada pembicaraan-pembicaraan di seminar-seminar ataupun pada pembacaan teks-teks pidato kenegaraan. Sementara dalam bentuk tulis, ragam bahasa Indonesia resmi dapat dijumpai dalam teks-teks pidato kenegaraan.

Selain ragam bahasa Indonesia resmi, dari segi situasi pemakaiannya, bahasa Indonesia juga terdiri dari ragam bahasa Indonesia tak resmi. Ragam ini disebut juga ragam bahasa Indonesia informal. Ia merupakan ragam bahasa Indonesia yang digunakan dalam situasi tak resmi. Secara sederhana, ragam bahasa ini dapat dilihat dari pemakaian unsur-unsur bahasa yang memperlihatkan tingkat kebakuan yang rendah.

Sebagaimana ragam bahasa Indonesia resmi, ragam bahasa Indonesia tak resmi juga memiliki bentuknya, baik berupa lisan ataupun tulis. Dalam bentuk lisan, ragam bahasa Indonesia ini biasanya dengan mudah dapat kita jumpai dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari. Sementara dalam bentuk tulis, ragam bahasa Indonesia ini dapat dengan mudah ditemukan dalam sejumlah teks-teks sastra, baik apakah itu novel, cerita pendek, ataupun puisi.

Dari segi norma pemakaiannya, bahasa Indonesia terdiri dari dua ragam, baku dan tidak baku.

Ragam bahasa Indonesia baku adalah ragam bahasa Indonesia yang pemakaiannya sesuai dengan kaidah tatabahasa Indonesia yang berlaku, baik apakah itu secara ejaan, maupun ketatabahasaan secara lebih spesifik. Ia biasanya, baik secara lisan ataupun tulis, identik dengan ragam bahasa Indonesia resmi. Ini karena dalam situasi resmi, ragam bahasa Indonesia yang digunakan senantiasa mengacu pada kaidah-kaidah tatabahasa yang baku.

Ragam bahasa Indonesia tidak baku adalah ragam bahasa Indonesia yang pemakaiannya menyimpang dari kaidah yang berlaku. Ragam bahasa Indonesia ini, baik dalam bentuk tulis maupun lisan, berkaitan erat dengan ragam bahasa Indonesia tak resmi. Ini karena dalam situasi tak resmi, bahasa Indonesia baku tidak digunakan. Misalnya, di dalam pergaulan sehari-hari, penggunaan bahasa Indonesia baku akan membuat kondisi pergaulan menjadi kaku dan terkesan resmi.

Bahasa Indonesia, dalam ragamnya, juga dapat dilihat dari segi bidang pemakaiannya. Dalam segi bidang pemakaiannya, apakah itu dalam lisan ataupun tulis, bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, antara lain: bahasa Indonesia jurnalistik, bahasa Indonesia sastra, bahasa Indonesia ilmiah, dsb. Ini karena banyaknya bidang kehidupan yang dimasuki oleh bahasa Indonesia dan setiap bidang tersebut memiliki cirinya masing-masing yang membedakan antara satu bidang dengan lainnya.

Tugas Makalah Theory of Literature

Tugas Makalah Mata Kuliah "Theory of Literature"
Semester Genap Tahun Ajaran 2008/ 2009

I. Perorangan:
1. Buatlah ringkasan atau synopsis karya-karya berikut ini:
A. "Hamlet", karya Shakespeare,
B. "Macbeth", karya Shakespeare,
C. "A Portrait of the Artis as a Young Man", karya James Joyce,
D. "Famished Road", karya Ben Okri,
E. "Beowulf", karya Anonymous.
2. Buatlah ringkasan teori-teori berikut:
A. New Criticism,
B. Formalisme,
C. Strukturalisme,
D. Resepsi,
E. Dekonstruksi


II. Kelompok:
Buatlah makalah yang berisi analisis terhadap satu karya sastra dengan menggunakan satu teori tertentu.

III. Penyajian Makalah:
1. Semua makalah diketik rapi dengan menggunakan:
a. Kertas ukuran A 4
b. Huruf Time New Roman ukuran 12
c. Spasi 1,5
dan dijilid.
2. Untuk makalah kelompok selain diketik rapi dan dijilid, juga menggunakan sistematika penyajian makalah:
A. Bab I: Pendahuluan (berisi Latar belakang masalah, Permasalahan, dan landasan Teori)
B. Bab II: Pembahasan
C. Simpulan
D. Daftar Pustaka

IV. Keterangan:
Semua tugas dan makalah dikumpulkan dalam bentuk cetak dan file paling lambat saat Ujian Tengah Semester (UTS). Untuk makalah dalam bentuk file dikirimkan ke indra.tjahyadi@yahoo.co.id


Tugas Makalah Mata Kuliah Pengantar Filsafat

Tugas Makalah Mata Kuliah "Pengantar Filsafat"
Semester Genap Tahun Ajaran 2008/ 2009

I. Tugas:
Buatlah makalah secara perosrangan dengan memilih salah satu cabang filsafat, seperti epistemolog, metafisika, estetika, dsb, sebagai pokok bahasannya.

II. Keterangan:
1. Tugas diketik rapi:
a. pada kertas ukuran A4
b. menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12
c. menggunakan spasi 1,5
dan dijilid.

2. Tugas makalah/ paper disusun dengan menggunakan sistematika penulisan:
Bab I: Pendahuluan (terdiri dari latar belakang masalah dan permasalahan)
Bab II: Pembahasan
Simpulan
Daftar Pustaka

3. Tugas dikumpulkan dalam bentuk cetak dan file. Dalam bentuk file, tugas makalah dikirimkan ke indra.tjahyadi@yahoo.co.id. Tugas, baik dalam bentuk cetak ataupun file, paling lambat dikumpulkan pada saat Ujian Tengah Semester (UTS).

Tugas Makalah Mata Kuliah Bahasa Indonesia I

Tugas Makalah Mata Kuliah "Bahasa Indonesia 1"
Semester Genap Tahun Ajaran 2008/2009

I. Tugas:
Buatlah makalah secara kelompok dengan tema "Bahasa Indonesia dalam perkembangan dan kedudukannya dalam pergaulan kebudayaan dunia".

II. Keterangan:
1. Setiap kelompok beranggotakan maksimal 5 mahasiswa

2. Tugas diketik rapi:
a. pada kertas ukuran A4
b. menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12
c. menggunakan spasi 1,5

3. Tugas makalah/ paper disusun dengan menggunakan sistematika penulisan:
Bab I: Pendahuluan (terdiri dari latar belakang masalah dan permasalahan)
Bab II: Pembahasan
Simpulan
Daftar Pustaka

4. Tugas dikumpulkan dalam bentuk cetak dan file. Dalam bentuk file, tugas makalah dikirimkan ke indra.tjahyadi@yahoo.co.id. Tugas, baik dalam bentuk cetak ataupun file, paling lambat dikumpulkan pada saat Ujian Tengah Semester (UTS).

Materi Kuliah Theory of Literature [02]

Mata Kuliah: Theory of Literature/ Teori Sastra
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pertemuan ke: 2
Pokok Bahasan: Mengenal Teori Sastra
Sub Pokok Bahasan: 1. Sastra dan Studi Sastra, 2. Pengertian Teori Sastra

MENGENAL TEORI SASTRA

I. Sastra dan Studi Sastra

Sebelum berbicara jauh tentang Teori Sastra, ada baiknya kita kembali pada pertanyaan mendasar: "Apakah sastra itu?" atau "What is literature?"

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "sastra" berarti:
1. bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari);
2. kesusastraan;
3. kitab sudi Hindu; kitab ilmu pengetahuan;
4. kitab; pusaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb);
5. tulisan; huruf.
Sementara dalam Kamus Inggris Indonesia yang disusun oleh Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, kata "literature" berarti:
1. kesusastraan,
2. kepustakaan, daftar bacaan.

Secara etimologis, kata "sastra" dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Sementara kata "literature" dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Yunani "litteratura" yang berasal dari kata "littera" yang memiliki arti bagian yang terkecil dari penulisan alfabet.

Berdasarkan ruang lingkupnya, pertama, sastra (literature) dapat dipahami sebagai hasil dari kegiatan kreatif seorang sastrawan. Sebagai hasil kegiatan kreatif, sastra biasa dikenal dengan nama karya sastra. Karya sastra merupakan produk dari tindak penciptaan atau kerja kreasi seorang sastrawan yang bertanggungjawab pada keindahan atau estetika. Sebagai produk yang bertanggungjawab pada keindahan atau estetika, karya sastra merupakan karya seni.

Selain sebagai hasil dari kegiatan kreatif, berdasarkan pada ruang lingkupnya, sastra juga dapat dipahami sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan, sastra merupakan satu studi yang memiliki metode-metode yang absah dan ilmiah. Ia dikenal dengan nama studi sastra. Secara umum, studi sastra dapat dipahami sebagai sebuah telaah sistematik mengenai sastra dan mengenai komunikasi sastra yang pada prinsipnya menghiraukan batas-batas antarbangsa dan antarkebudayaan.

Sebagai sebuah studi, sastra bertanggungjawab pada logika ilmiah. Logika ilmiah adalah logika yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Ia merupakan satu bentuk logika yang berlandaskan pengetahuan yang jelas dari satu objek yang dicapai menurut cara pandang tertentu atau sudut pandang tertentu dengan metode yang sesuai dan ditunjang oleh satu sistem yang relevan.

Seperti ilmu pengetahuan pada umumnya, sebagai sebuah cabangnya, studi sastra memiliki objek yang menjadi lapangan penyelidikannya. Objek dari studi sastra atau ilmu sastra adalah karya sastra. Bagi studi sastra, karya sastra dikenal dengan teks sastra atau teks saja. Teks sastra atau teks saja adalah realisasi sistem sastra. Ia merupakan aktualisasi kompetensi sastra yang memiliki ciri khas keseluruhan yang berhingga, yang tertutup, yang batasnya (awal dan akhirnya) diberikan dengan kebulatan makna.

Dalam studi sastra, teks-teks tersebut dapat digolongkan menurut jenisnya. Penggolongan teks-teks sastra menurut jenisnya ini biasa dikenal dengan nama genre sastra. Secara sederhana, genre sastra dapat dibagi menjadi teks-teks naratif, teks-teks drama, dan teks-teks puisi. Teks-teks naratif adalah semua teks yang tidak bersifat dialog, dan yang isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah deretan peristiwa, yang menghadirkan cerita, seperti novel, roman, cerita pendek, dsb. Teks-teks drama adalah semua teks yang bersifat dialog dan yang isinya membentang alur. Dan teks-teks puisi adalah teks-teks monolog yang sisinya tidak pertama-tama merupakan alur, dan dapat memiliki ciri penyajian tipografik tertentu.

Untuk melakukan pendekatan terhadap teks, studi sastra memliki cara pandang tertentu atau sudut pandang tertentu. Cara pandang atau sudut pandang tertentu itu dapat berupa intrinsik (apabila sastra dipandang sebagai sebuah dunia yang otonom, yang tidak terikat oleh dunia lain di luar sastra), ekstrinsik (apabila sastra dipandang sebagai sebuah dunia yang tidak otonom dan senantiasa terikat dengan dunia di luar sastra), ataupun intrinsik-ekstrinsik (apabila sastra dipandang sebagai sebuah dunia yang otonom tapi juga terikat dengan hal-hal di luar sastra).

Dalam melakukan pendekatannya, baik apakah secara intrinsik, ekstrinsik, maupun intrinsik-ekstrinsik, studi sastra dapat berpijak pada tiga hal, yakni teori, kritik dan sejarah. Dalam studi sastra, tiga hal tersebut sekaligus merupakan cabang dari studi sastra yang biasa dikenal dengan nama teori sastra (literary theory/ theory of literature/ critical theory), kritik sastra (literary criticism) dan sejarah sastra (history of literature).

Masing-masing cabang tersebut memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dalam melakukan pendekatan terhadap teks sastra. Meskipun demikian, tak jarang, batas-batas tersebut menjadi kabur. Kekaburan ini terjadi karena batas-batas yang dimiliki masing-masing cabang dari ilmu sastra tersebut bukanlah batasan yang kaku dan tegas. Tak jarang, tatkala seorang kritikus sastra melakukan studi kritiknya atas satu teks sastra, dia membutuhkan teori sastra sebagai alat penilaiannya, begitu juga tatkala seorang sejarahwan sastra dalam melakukan kerja studinya, dia membutuhkan teori sastra dan kritik sastra agar penelitiannya secara diakronis mengenai sejumlah karya sastra dapat dilakukan. Karena teori sastra maupun kritik sastra, bagi penelitian sejarah sastra, merupakan metode sekaligus data yang sangat berguna bagi studi tersebut.

II. Pengertian Teori Sastra

Tadi telah disebutkan, bahwa teori sastra (literary theory/ theory of literature/ critical theory) merupakan cabang dari studi sastra. Secara sederhana, teori sastra dapat dipahami sebagai cabang studi sastra yang secara teoritis mendekati gejala sastra pada umumnya. Dalam teori sastra, teks sastra merupakan objek studi yang harus didekati, dipelajari, diteliti, atau bahkan dipahami berdasarkan teori-teori sastra yang ada. Dalam teori sastra, penggunaan teori terhadap teks sastra adalah yang utama.

Teori sastra yang dikenal saat ini memiliki sejarah yang panjang. Ia ada semenjak zaman Yunani Kuno. Pada zaman tersebut, keberadaan teori sastra dapat dilihat pada gagasan-gasan Plato tentang seni mimetik, dan pikiran-pikiran Aritoteles yang tertuang dalam buku Poetics. Tetapi, teori sastra benar-benar menemukan momentumnya tatkala sastra memasuki zaman modern yang dimulai pada kisaran tahun 1890an.

Di zaman modern, sastra tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan misterius yang tidak memiliki satu metode dan sistem tertentu. Dalam dunia modern, sastra, meskipun masih diandaikan sebagai sesuatu yang khas dan bersifat indiviual, juga memiliki nilai-nilai atau kaidah-kaidah atau konvensi-konvensi yang bersifat umum dan dapat ditelaah ataupun didekati dan dipahami berdasarkan teori-teori yang ada. Paradigma semacam inilah yang membuat perkembangan teori sastra di zaman modern menemukan momentumnya.

Perkembangan teori sastra yang menemukan momentumnya di zaman modern melahirkan banyak teori-teori sastra, baik apakah itu berupa cara pandang intrisik seperti kritik baru (new criticism) atau formalisme (formalism), atau cara pandang ekstrinsik, seperti resepsi, sosiologi sastra, dsb, ataupun intrinsik-ekstrinsik seperti strukturalisme-genetik (genetic structuralism).

Sastra senantiasa berada di antara tradisi dan inovasi. Keberadaan sastra yang senatiasa berayun menuju dua hal tersebut, membuat sastra, di satu sisi, mengukuhkan tradisi, tapi di sisi lain, melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap tradisi yang ada. Penyimpangan-penyimpangan ini membuat publik sastra kerap kali tersesat dalam melakukan pemahamannya terhadap karya sastra. Di bawah kondisi ini, teori sastra memiliki fungsi dan kedudukan yang penting karena ia dapat menjadi jembatan antara publik sastra dan karya sastra. Artinya, setiap usaha yang dilakukan oleh teori sastra adalah bertujuan mendekatkan publik sastra dengan karya sastra.

Selain itu, teori sastra juga memiliki fungsi dan kedudukan yang penting dalam studi sastra. Sebagai salah satu cabang dari ilmu pengetahuan, keberadaan studi sastra ditentukan juga oleh keberadaan teori-teori di dalamnya. Jadi, semakin kukuh dan berkembangan teori sastra berarti semakin kukuh dan diakuinya studi sastra sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan yang memiliki nilai dan kaidah keilmuan.

Senin, 09 Maret 2009

Materi Kuliah Pengantar Filsafat [02]

Materi Perkuliahan: Pengantar Filsafat
Pertemuan ke: 2
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pokok Bahasan: Mengenal Filsafat
Sub Pokok Bahasan: 1. Pengertian Filsafat; 2. Objek Filsafat;
3. Metode Filsafat; 4. Peranan dan Tujuan Filsafat


MENGENAL FILSAFAT

I. Pengertian Filsafat

Setiap kali saya memulai untuk pertama kali memberikan perkuliahan mata kuliah "Pengantar Filsafat", saya senantiasa dihadapkan pada pertanyaan: "Apakah filsafat itu?" Sungguh ini merupakan pertanyaan yang sederhana, bahkan sangat sederhana. Tapi, untuk memberikan jawaban yang dapat memuaskan dan benar-benar menjawab pertanyaan tersebut, itu bukanlah perkara yang mudah.

Ada yang mengira bahwa filsafat itu sesuatu yang kabur, serba rahasia, mistis, aneh, tak berguna, tak bermetoda, atau hanya sekedar lelucon yang tak bermakna atau omong kosong. Selain itu ada pula yang mengira bahwa filsafat itu merupakan kombinasi dari astrologi, psikologi dan teologi. Filsafat bukanlah semua itu.

Oxford Pocket Dictionary mengartikan filsafat sebagai use of reason and argument in seeking truth and knowledge of reality. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan filsafat sebagai:
1. pengetahuan dan penyedilikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, dan hukumnya;
2. teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan;
3. ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi;
4. falsafah.

Menurut Kamus Filsafat, filsafat merupakan (Bagus, 2000: 242):
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan penyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu manusia melihat apa yang dikatakan dan untuk mengatakan apa yang dilihat.

Secara etimologi atau asal kata, kata "filsafat" berasal dari sebuah kata dalam bahasa Yunani yang berbunyi philosophia. Kata philophia ini merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata philos dan sophia. Kata philos berarti kekasih atau sahabat, dan kata sophia yang berarti kearifan atau kebijaksanaan, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengetahuan. Jadi secara etimologi, philosophia berarti kekasih/ sahabat kebijaksaan/ kearifan atau kekasih/ sahabat pengetahuan.

Agar bisa menjadi kekasih atau sahabat, seseorang haruslah mengenal dekat dan akrab dengan seseorang atau sesuatu yang ingin dijadikan kekasih atau sahabat tersebut. Dan ini hanya bisa dilakukan apabila seseorang tersebut senantiasa terus-menerus berupaya untuk mengenalnya secara dalam dan menyeluruh. Dengan harapan bahwa upaya yang terus-menerus itu dapat membawa seseorang atau sesuatu itu pada kedekatan yang akrab sehingga dapat mengasihinya.

Seseorang yang melakukan aktivitas tersebut disebut filsuf. Filsuf adalah seseorang yang mendalami filsafat dan berusaha memahami dan menyelidikinya secara konsisten dan mendalam. Konsisten artinya bahwa seseorang tersebut terus menerus menggeluti filsafat. Mendalam berarti bahwa ia benar-benar berusaha mempelajari, memahami, menyelidiki, meneliti filsafat.

Tadi dikatakan bahwa filsafat adalah kekasih/ sahabat kebijaksaan/ kearifan atau kekasih/ sahabat pengetahuan, jadi karena ia merupakan kekasih/ sahabat kebijaksaan/ kearifan atau kekasih/ sahabat pengetahuan, maka filsafat memiliki hasrat untuk selalu ingin dekat, ingin akrab, ingin mengasihi kearifan/ kebjaksanaan/ pengetahuan. Tapi, kearifan/ kebijaksanaan/ pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat abstrak dan luas. Keabstrakan dan keluasan ini menjadikan hasrat yang dimiliki filsafat tersebut tak mudah untuk dipuaskan sepenuhnya. Ini menyebabkan filsafat terus-menerus melakukan usaha untuk memenuhinya. Usaha yang terus menerus ini membuat filsafat, pada satu sisi, dikenal tak lebih dari sebagai sebuah usaha atau suatu upaya.

Selain sebagai sebuah usaha atau suatu upaya, William James, seorang filsuf dari Amerika, melihat bahwa berpikir juga merupakan sisi lain dari filsafat. Menurutnya, filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang. Artinya, bahwa segala upaya yang dilakukan oleh filsafat tak dapat dilepaskan dari tujuannya untuk meraih kejelasan dan keterangan dalam berpikir. Jadi, berpikir adalah sisi lain yang dimiliki filsafat.

Ihwal pentingnya keberadaan berpikir dalam filsafat, Thomas Nagel dalam Philosophy: Basic Reading mengatakan (1987: 3):

Philosophy is different from science and from mathematics. Unlike science doesn't rely on experiments or observation, but only on thought. And unlike mathematics it has no formal methods of proof. It is done just by asking questions, arguing, trying out ideas and thinking of possible arguments against them, and wondering how our concepts really work.

Bagi manusia, berpikir adalah hal yang sangat melekat. Manusia, merujuk pada Aritoteles, adalah animal rationale atau mahluk berpikir. Tidak seperti mahluk-mahluk lainnya, oleh Tuhan manusia diberi anugerah yang sangat istemewa yakni akal. Dengan akal, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengatasi dan memecahkan segala permasalahan yang dihadapinya pikirannya. Karena filsafat mengandaikan adanya kerja pikiran, maka sifat pertama yang terdapat dalam berpikir secara filsafat adalah rasional.

Rasional berarti bahwa segala yang dipikirkannya berpusar pada akal. Tapi, tidak semua aktivitas berpikir manusia dapat dikatakan berpikir secara filsafat. Untuk dapat dikatakan bahwa satu aktivitas berpikir itu merupakan berpikir secara filsafat, aktivitas berpikir itu haruslah bersifat metodis.

Secara umum, berpikir metodis berarti berpikir dengan cara tertentu yang teratur. Dalam membeberkan pikiran-pikirannya, filsafat senantiasa menggunakan cara tertentu yang teratur. Keteraturan ini membuat pikiran-pikiran yang dibeberkan oleh filsafat menjadi jelas dan terang. Tapi agar cara tertentu itu dapat teratur, filsafat membutuhkan faktor lain, yakni sistem.

Sebagai sebuah sistem, filsafat suatu susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan. Ia terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen yang secara teratur menurut pola tertentu, dan membentuk satu kesatuan. Adanya sistem membuat satu cara berpikir tertentu yang teratur tetap pada keteraturannya. Oleh karena itu, selain berpikir metodis filsafat juga memiliki sifat berpikir sistematis.
Berpikir secara sistematis memiliki pengertian, bahwa aktivitas berpikir tersebut haruslah mengikuti cara tertentu yang teratur, yang dilakukan menurut satu aturan tertentu, runtut dan bertahap, serta hasilnya dituliskan mengikuti satu aturan tertentu pula tersusun menurut satu pola yang tidak tersusun secara acak atau sembarangan. Jadi, agar dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut sedang berpikir secara filsafat, ia haruslah berpikir menurut atau mengikuti satu aturan tertentu yang runut dan bertahap dan tidak acak atau sembarangan.

Sistematis mengandaikan adanya keruntutan. Jadi, berpikir filsafat atau berpikir filsafati juga memiliki sifat runtut atau koheren. Koheren berarti bertalian. Ia merupakan kesesuaian yang logis. Dalam koherensi, hubungan yang terjadi karena adanya gagasan yang sama. Pada berpikir filsafat, koherensi berarti tidak adanya loncatan-loncatan, kekacauan-kekacauan, dan berbagai kontradiksi. Dalam koherensi, tidak boleh ada pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan. Contoh:

Hujan turun
Tidak benar bahwa hujan turun

Pernyataan yang pertama yang berbunyi "Hujan turun" bertentangan dengan pernyataan yang kedua, "Tidak benar bahwa hujan turun,", begitu juga sebaliknya. Dalam berpikir secara koherensi hal ini tidak dibenarkan. Karena kedua pernyataan ini saling bertentangan. Jadi, dalam berpikir secara koherensi, pernyataan-pernyataan yang ada haruslah saling mendukung.

Agar dapat memperoleh pernyataan-pernyataan yang mendukung, filasafat haruslah mencari, mendapatkan, memeriksa, ataupun menyelidiki keseluruhan pernyataan yang ada. Filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri. Usaha ini membawa filsafat pada penyelidikan terhadap keseluruhan. Jadi, sifat berpikir filsafat yang berikutnya adalah keseluruhan atau komprehensif dalam artian bahwa segala sesuatu berada dalam jangkauannya.

Tadi dikatakan bahwa berpikir filsafat memiliki sifat koherensi, maka agar koherensi dapat terjadi, seorang filsuf atau seseorang yang sedang mempelajari dan mendalami filsafat haruslah mampu memahami dan memilah pernyataan-pernyataan yang ada. Agar dapat mencapai hal tersebut, dibutuhkan apa yang dinamakan berpikir kritis Jadi, kritis adalah sifat berpikir filsafat yang berikutnya.

Kritis dapat dipahami dalam artian bahwa tidak menerima sesuatu begitu saja. Secara spesifik, berpikir kritis secara filsafat adalah berpikir secara terbuka terhadap segala kemungkinan, dialektis, tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang ada, dan selalu hati-hati serta waspada terhadap berbagai kemungkinan kebekuan pikiran.

Untuk mencapai berpikir kritis, hal yang harus dilakukan adalah berpikir secara skeptis. Skeptis berbeda dengan sinis. Skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu. Sedangkan sinis adalah sikap yang berdasar pada ketidakpercayaan. Secara metaforis, sikap sinis dapat digambarkan seperti seorang laki-laki di tengah perempuan-perempuan cantik, tapi dia malah mencari seekor kambing yang paling buruk. Jadi, pada intinya, sikap skpetis itu adalah meragukan, sementara sikap sinis adalah ketidakpercayaan.

Tadi telah dipaparkan di atas, bahwa filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri. Agar dapat meraih hal tersebut, filsafat harus menemukan radix (akar) dunia seluruhnya tersebut. Jadi berpikir radikal adalah sifat berpikir filsafat yang berikutnya.

Usaha menemukan akar dunia seluruhnya ini sangat diperlukan. Karena dengan penemuan akarnya, diharapkan, setiap persoalan ataupun permasalahan-permasalahan yang bertumbuhan di atasnya dapat disingkap. Untuk dapat menemukan akar tersebut, seorang filsuf atau seseorang yang sedang mempelajari dan mendalami filsafat perlu untuk berpikir secara radikal. Berpikir radikal merupakan cara berpikir yang tidak pernah terpaku hanya pada satu fenomena suatu entitas tertentu, dan tidak pernah berhenti hanya pada satu wujud tertentu.

Sampai di sini, kiranya, kita telah mengetahui mengapa filsafat itu bukan sesuatu yang kabur, serba rahasia, mistis, aneh, tak berguna, tak bermetoda, atau hanya sekedar lelucon yang tak bermakna atau omong kosong.

II. Objek Filsafat

Setiap ilmu pengetahuan memiliki objek tertentu yang menjadi lapangan penyelidikan atau lapangan studinya. Objek ini diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang, metode, dan sistem tertentu. Adanya objek menjadikan setiap ilmu pengetahuan berbeda antara satu dengan lainnya. Objek ilmu pengetahuan terdiri dari objek materi dan objek forma.

Objek materi adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau penelitian keilmuan. Ia bisa berupa apa saja, baik apakah itu benda-benda material ataupun benda-benda non material. Ia tidak terbatas pada apakah hanya ada di dalam kenyataan konkret, seperti manusia ataupun alam semesta, ataukah hanya di dalam realitas abstrak, seperti Tuhan atau sesuatu yang bersifat Ilahiah lainnya. Sementara objek forma adalah cara pandang tertentu, atau sudut pandang tertentu yang dimiliki serta yang menentukan satu macam ilmu.

Seperti halnya ilmu pengetahuan pada umumnya, filsafat juga memiliki objek yang menjadi lapangan penyelidikan atau lapangan studinya yang terdiri dari objek materia dan objek forma.

Bagi Plato (+ 427-347 SM) filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada. Sementara bagi Aritoteles (+ 384-322 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari "peri ada selaku ada" (being as being) atau "peri ada sebagaimana adanya" (being as such). Dari dua pernyataan tersebut, dapatlah diketahui bahwa "ada" merupakan objek materia dari filsafat. Karena filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri, maka "ada" di sini meliputi segala sesuatu yang ada dan, bahkan, yang mungkin ada atau seluruh ada.

Penempatan segala sesuatu yang ada dan, bahkan, yang mugkin ada atau seluruh ada sebagai objek materia dari filsafat, membuat filsafat berbeda dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, seperti sastra, bahasa, politik, sosiologi, dsb. Jika ilmu-ilmu pengetahuan lainnya hanya menempatkan satu bidang dari kenyataan sebagai objek materianya, filsafat, karena berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri, menempatkan seluruh kenyataan sebagai objek materia studinya. Jadi, secara singkat dapat dikatakan, jika filsafat itu bersifat holistik atau keseluruhan, sementara ilmu pengetahuan lainnya bersifat fragmental atau bagian-bagian.

Tadi telah dipaparkan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada, maka untuk mencapai hal tersebut filsafat senantiasa berusaha mencari keterangan yang sedalam-dalamnya atas segala sesuatu. Jadi, mencari keterangan sedalam-dalamnya merupakan objek forma dari filsafat.

III. Metode Filsafat

Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan dari kenyataan. Untuk mendapatkan hal tersebut, filsafat memiliki beberapa metode penalaran. Pertama, metode penalaran deduksi. Secara sederhana, metode ini dapat dikatakan satu metode penalaran yang bergerak dari sesuatu yang bersifat umum kepada yang khusus. Dalam pengertiannya yang lebih spesifik, ia adalah proses berpikir yang bertolak dari prinsip-prinsip, hukum-hukum, putusan-putusan yang berlaku umum untuk suatu hal/ gejala atau prinsip umum tersebut ditarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus yang merupakan bagian hal/ gejala umum.. Secara sederhana, deduksi dapat dicontohkan sbb:

Semua manusia adalah fana
Presiden adalah manusia
Presiden adalah fana
Selain deduksi, filsafat juga menggunakan metode penalaran induksi. Secara sederhana, metode ini dapat dikatakan satu metode penalaran yang bergerak dari sesuatu yang bersifat khusus kepada yang umum. Ia adalah proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena/ gejala individual untuk menurunkan suatu kesimpulan yang berlaku umum. Secara sederhana, metode ini dapat dicontohkan sbb:

Amin adalah murid sekolah dasar
Amin adalah manusia
Semua murid sekolah dasar adalah manusia

Metode ketiga yang dimiliki filsafat adalah metode penalaran dialektika. Secara umum, metode ini dapat dipahami sebagai cara berpikir yang dalam usahanya memperoleh kesimpulan bersandar pada tiga hal, yakni: tesis, antitesis dan sintetis yang merupakan hasil gabungan dari tesis dan antitesis. Contoh sederhana untuk metode penalaran ini adalah Keluarga. Dalam satu keluarga biasanya terdapat ayah, ibu, dan anak. Jika ayah adalah tesis, maka ibu adalah antitesis, lantas anak merupakan sintesis karena keberadaannya ditentukan ayah dan ibu. Begitu juga apabila ibu adalah tesis, maka ayah adalah antitesis, dan anak adalah sintesis.

IV. Peranan dan Tujuan Filsafat

Tadi telah dipaparkan bahwa filsafat merupakan suatu upaya berpikir yang jelas dan terang tentang seluruh kenyataan. Upaya ini, bagi manusia, menghasilkan beberapa peranan. Pertama, filsafat berperan sebagai pendobrak. Artinya, bahwa filsafat mendobrak keterkungkungan pikiran manusia. Dengan mempelajari dan mendalami filsafat, manusia dapat menghancurkan kebekuan, kebakuan, bahkan keterkungkungan pikirannya dengan kembali mempertanyakan segala.

Pendobrakan ini membuat manusia bebas dari kebekuan, kebakuan, dan keterkungkungan. Jadi, bagi manusia, filsafat juga memiliki peranan sebagai pembebas pikiran manusia. Maka, pembebas merupakan peranan kedua yang dimiliki filsafat bagi manusia.

Pembebasan ini membimbing manusia untuk berpikir lebih jauh, lebih mendalam, lebih kritis terhadap segala hal sehingga manusia bisa mendapatkan kejelasan dan keterangan atas seluruh kenyataan. Jadi, peranan ketiga yang dimiliki oleh filsafat bagi manusia adalah sebagai pembimbing.

Selain memiliki peranan bagi manusia, filsafat juga berperan bagi ilmu pengetahuan umumnya. Menurut Descartes (1596-1650), filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia. Ia, merujuk pada Kant (1724-1804), adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan. Jadi, merujuk pada dua penrnyataan tersebut, dapat dapat disimpulkan bahwa bagi ilmu pengetahuan, filsafat, memiliki peranan sebagai penghimpun pengetahuan.

Memahami perannya sebagai penghimpun, maka filsafat dapat dikatakan merupakan induk segala ilmu pengetahuan atau mater scientiarum. Bagi Bacon (1561-1626, filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu. Ia menangani semua pengetahuan.

Selain sebagai induk yang menghimpun semua pengetahuan, bagi ilmu pengetahuan filsafat juga memiliki peranan lain, yakni sebagai pembantu ilmu pengetahun.

Bagi Bertrand Russell (1872-1970), filsafat adalah sebuah wilayah tak bertuan di antara ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memiliki kemungkinan untuk menyerang keduanya. Karena terdapat kemungkinan ini dalam filsafat, maka, menurutnya, filsafat dapat memeriksa secara kritis asas-asas yang dipakai dalam ilmu dan kehidupan sehari-hari, dan mencarisuatu ketidakselarasan yang dapat terkandung di dalam asas-asas tersebut. Secara sederhana, paparan Bertrand Russell tersebut dapat dipahami bahwa bagi pengetahuan, filsafat juga memiliki peranan sebagai pembantu pengetahuan. Sejalan dengan hal tersebut, Schlick, seorang filsuf Wina, pernah menyatakan bahwa tugas ilmu adalah untuk mencapai pengetahuan tentang realitas; dan pencapaian ilmu yang sebenarnya tidak pernah dapat dihancurkan atau diubah oleh filsafat, tapi filsafat dapat menafsirkan pencapaian-pencapaian tersebut secara benar, dan untuk menunjukkan maknanya yang terdalam.

Dalam menjalankan peranannya tersebut, filsafat memiliki tujuan. Menurut Plato, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Jadi secara umum, tujuan filsafat adalah meraih kebenaran. Dengan harapan kebenaran ini dapat membawa manusia kepada pemahaman, dan pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih layak. Tapi, janganlah dianggap bahwa kebenaran yang berusaha diraih filsafat adalah sama dengan kebenaran yang diraih agama.

Tidak seperti agama yang menyandarkan diri dan mengajarkan kepatuhan, filsafat menyandarkan diri dan mengandalkan kemampuan berpikir kritis. Kondisi berpikir kritis ini sering tampil dalam perilaku meragukan, mempertanyakan, dan membongkar sampai ke akar-akarnya. Kebenaran yang oleh agama wajib diterima, dalam filsafat senantiasa diragukan, dipertanyakan dan dibongkar sampai ke akar-akarnya untuk kemudian dikonstruksi menjadi pemikiran baru yang lebih masuk akal. Maka, tak heran, apabila kebenaran yang ditawarkan filsafat dipahami sebagai kebenaran yang logis.

Materi Kuliah Bahasa Indonesia 1 [02]

Materi Perkuliahan: Bahasa Indonesia 1
Pertemuan ke: 2
Dosen Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pokok Bahasan: Mengenal Bahasa
Sub Pokok Bahasan: 1. Pengertian Bahasa, 2. Fungsi Bahasa

MENGENAL BAHASA

I. Pengertian Bahasa

Manusia adalah mahluk berbahasa. Segala hal dalam hidup manusia senantiasa berkaitan dengan bahasa. Tak ada satu pun aspek dalam kehidupan manusia yang lepas dari bahasa. Bahasa adalah dasar pertama-tama dan paling berurat-akar bagi manusia.

Bagi manusia, bahasa adalah media yang dipakainya untuk membentuk dan mengkomunikasikan pikiran dan pikirannya, keinginan dan perbuatannya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh suatu anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Dari pengartian yang diberikan oleh KBBI tersebut ada empat hal yang menarik untuk dicermati. Pertama, bahasa merupakan sistem.

Bahasa sebagai sebuah sistem merupakan suatu susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Ia terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen yang secara teratur menurut pola tertentu, dan membentuk satu kesatuan.

Sebagai sebuah sistem, bahasa sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Bersifat sistematis, artinya bahwa bahasa tersusun menurut satu pola yang tidak tersusun secara acak atau sembarangan. Sementara secara sistemis berarti bahwa bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, tapi terdiri juga dari sub-sistem atau sistem bawahan, seperti sub-sitem fonologi, sub-sistem morfologi, sub-sitem sintaksis, sub-sistem semantik. Kemudian tiap-tiap unsur dalam subsistem-subsistem tersebut juga tersusun menurut aturan atau pola tertentu, yang secara keseluruhan membentuk satu sistem. Jika tidak tersusun menurut aturan atau pola tertentu, maka subsistem tersebut tidak dapat berfungsi.

Hal kedua yang menarik untuk dicermati dari pengartian bahasa yang diberikan oleh KBBI adalah lambang. Lambang adalah bentuk visual bahasa. Dengan lambang, bahasa memiliki wujud yang dapat dikenali manusia secara visual.

Manusia adalah animal symbolicum atau mahluk bersimbol. Sebagai mahluk bersimbol atau mahluk berlambang, maka setiap aspek kehidupan manusia hampir selalu bersentuhan dengan simbol atau lambang. Simbol atau lambang menandai sesuatu yang lain secara konvensional, tidak secara alamiah dan langsung. Untuk mengenalinya diperlukan pengenalan terhadap konvensi yang melatari lambang tersebut. Misalnya, tanda huruf "P" besar dicoret pada rambu-rambu lalu lintas. Kita tak akan mengenali bahwa tanda tersebut berarti bahwa kendaraan dilarang parkir apabila kita tidak mengenal konvensi tentang rambu-rambu lalu lintas.

Tapi keberadaan lambang dalam bahasa tersebut akan tidak berarti apabila tidak ada bunyi. Bunyi juga merupakan hal penting bagi bahasa. Keberadaan lambang dan bunyi dalam bahasa adalah sejajar.

Secara teknis, bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Ia bisa bersumber pada gesekan atau benturan benda-benda, alat suara pada binatang dan manusia. Tapi, tidak setiap bunyi dapat dikatakan bunyi bahasa.

Bahasa merupakan alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa lambang bunyi-suara, yang dihasilkan oleh alat-ucap manusia. Tapi untuk dikatakan bahwa sebuah bunyi itu merupakan bunyi bahasa, ia haruslah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Meskipun demikian ini tidak berarti bahwa setiap bunyi yang dihasilkan manusia merupakan bahasa

Bunyi-bunyi seperti bunyi bersin, batu-batu, atau tangisan bayi bukanlah bunyi bahasa. Karena bahasa mengandaikan adanya sistem yang bersifat sistematis dan sistemis, maka untuk dapat menjadi bunyi bahasa, sebuah bunyi haruslah memiliki sistem. Dalam masyarakat pengguna bahasa, sistem tersebut dapat dikelani sebagai konvensi. Setiap bahasa memiliki konvensinya masing-masing. Misalnya, bunyi kata anjing tak akan berarti apa-apa bagi masyarakat pengguna bahasa Inggris. Begitu juga dengan kata dog. Kata ini tak akan berarti apa-apa bagi mereka yang berada di luar para pengguna bahasa Inggris.

Hal berikutnya yang patut dicermati dari pengartian yang diberikan KBBI atas bahasa adalah arbitrer. Yang dimaksud dengan arbitrer adalah tidak adanya hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dengan kata lain, hubungan antara bahasa dan wujud bendanya hanya didasarkan pada kesepakatan antara penurut bahasa di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Misalnya, lambang bahasa yang berwujud bunyi kuda dengan rujukannya yaitu seekor binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, tidak ada hubungannya sama sekali, tidak ada ciri alamiahnya sedikit pun.

Hubungan antara lambang bahasa yang berwujud bunyi kuda dengan rujukannya yaitu seekor binatang berkaki empat yang biasa dikendarai tersebut baru memiliki hubungan karena kebetulan dalam bahasa Indonesia konsep "binatang berkaki empat yang biasa dikendarai" tersebut dilambangkan dengan bunyi kuda.

Sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh suatu anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri, bahasa terdiri dari dua bagian besar yaitu bentuk dan makna.

Bentuk bahasa adalah bagian bahasa yang dapat dicerap oleh pancaindra manusia entah dengan mendengar ataupun membaca. Bentuk bahasa dapat dibagi atas dua bagian yaitu unsur-unsur segmental dan unsur-unsur suprasegmental. Unsur-unsur segmental adalah bagian dari bentuk bahasa yang dapat dibagi-bagi atas bagaian-bagian atau segmen-segmen yang lebih kecil, seperti wacana, kalimat, kalusa, frasa, kata, morfem, suku kata, dan fonem. Sementara unsur-unsur suprasegmental adalah bagian dari bentuk bahasa yang kehadirannya tergantung dari unsur-unsur segmental.

Unsur-unsur suprasegmental bahasa terdiri dari intonasi dan unsur-unsur bahawannya yang kehadirannya tergantung dari unsur-unsur segmental. Unsur intonasi adalah tekanan (keras/lembutnya arus-ujaran), nada (tinggi/rendahnya arus-ujaran), durasi (panjang/pendeknya arus ujaran), dan perhentian (pembagian dalam arus-ujaran).

Selain bentuk, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa bahasa juga terdiri dari makna. Makna bahasa juga dikenal sebagai arti. Makna atau arti ini merupakan isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan adanya reaksi. Setiap makna dapat menimbulkan reaksi tertentu. Adanya makna ini membuat setiap orang dapat memahami dan melakukan reaksi terhadap lawan bicaranya.

Makna banyak bentuknya, ada makna leksikal (makna yang timbul dari kata tertentu), ada makna sintaktis (makna yang timbul karena rangkaian kata-kata yang membentuk frasa, klausal, kalimat), dan ada juga makna wacana (makna yang timbul dari sebuah wacana).

II. Fungsi Bahasa

Bahasa adalah media bagi manusia. Sebagai media memiliki beberapa fungsi. Fungsi yang pertama dari bahasa adalah media komunikasi.

Sebagai bagian dari masyarakat, manusia membutuhkan media agar dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Untuk dapat memenuhi kebutuhannya dalam berkomunikasi itu manusia membutuhkan bahasa. Bahasa adalah media komunikasi antar manusia. Sebagai media komunikasi, bahasa digunakan oleh manusia sebagai anggota masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sesama anggota dalam masyarakat yang dia huni.

Hubungan atau komunikasi ini dapat dilakukan secara perseorangan ataupun secara berkelompok. Dalam penggunaan sebagai media komunikasi secara berkelompok, bahasa dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menjalin kerja sama dengan pihak lain, baik untuk kepentingan perseorangan, kelompok, maupun kepentingan bersama. Selain itu, bahasa, dalam fungsinya sebagai media komunikasi, juga dapat dipergunakan untuk bertukar pendapat, berdiskusi, atau membahas suatu persoalan yang dihadapi.

Selain sebagai media untuk berkomunikasi, bahasa juga berfungsi sebagai media ekspresi diri.

Sebagai media ekspresi diri, bahasa merupaka sarana untuk mengekspresikan atau mengungkapkan segala sesuatu yang mengendap di dalam pikiran dan perasaan manusia. Selain itu, sebagai media ekpresi diri, bahasa juga seringkali digunakan untuk menyatakan keberadaan atau eksistensi seseorang kepada orang lain.

Sebagai media ekspresi diri, bahasa bukan saja mencerminkan gagasan dan pikiran, melainkan juga mencerminkan perasaan dan perilaku seseorang.

Fungsi ketiga dari bahasa adalah sebagai media integrasi dan adaptasi sosial. Sebagai alat integrasi, bahasa memungkinkan setiap penuturnya merasa diri dengan kelompok sosial masyarakat yang menggunakan bahasa yang sama, sehingga para anggota dari kelompok sosial tersebut dapat melakukan kerja sama dan membentuk masyarakat bahasa yang sama. Sementara sebagai media adaptasi sosial, bahasa memungkinkan seseorang menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan anggota masyarakat lain yang menggunakan bahasa yang sama.

Fungsi keempat dari bahasa adalah sebagai media kontrol sosial. Sebagai media kontrol sosial, bahasa dapat digunakan untuk mengatur berbagai aktivitas sosial, merencanakan berbagai kegiatan, dan mengarahkannya ke dalam suatu tujuan yang diinginkan. Selain itu, dalam fungsinya sebagai media kontrol sosial, bahasa dapat juga dipakai untuk menganalisis dan mengevaluasi berbagai aktivitas yang dilakukan oleh seseorang. Sebab dengan bahasa seseorang dapat memberikan perintah atau instruksi kepada seseorang lainnya untuk melakukan suatu aktivitas atau melarangnya melakukan aktivitas tersebut. Dengan kata lain, dalam fungsinya sebagai media kontrol sosial, bahasa dapat dimanfaatkan untuk mengontrol segala aktivitas yang dilakukan manusia.

Silabus Mata Kuliah Pengantar Filsafat

SILABUS

UNIVERSITAS: PANCA MARGA
FAKULTAS: SASTRA DAN FILSAFAT
MATA KULIAH: PENGANTAR FILSAFAT
DOSEN: INDRA TJAHYADI, S.S.
KODE MATA KULIAH:
BOBOT SKS: 2 SKS
JENJANG STUDI: STRATA 1


I. Deskripsi Mata Kuliah

Pengantar Filsafat merupakan mata kuliah yang membicarakan filsafat dalam tataran pengertiannya, cabang-cabangnya, dan aliran-aliran yang ada di dalamnya.

II. Tujuan Mata Kuliah

Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan:
1. Memahami pengertian filsafat bersama asal-mulanya, objeknya, tujuan dan kegunaannya, cabang-cabang filsafat, dan aliran-aliran filsafat untuk dapat dijadikan landasan pemikiran, perencanaan dan pengembangan ilmu secara akademik dan profesional.
2. Memahami filsafat untuk mengembangkan diri sebagai ilmuwan maupun sebagai pendidik dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan kuantitatif dan kualitatif maupun perpaduan kedua-duanya dalam konsentrasi bidang studi yang menjadi minat utamanya.
3. Mampu menerapkan filsafat sebagai dasar pemikiran, perencanaan dan pengembangan khususnya landasan keilmuan dan landasan pendidikan yang dijiwai nilai-nilai ajaran agama dan nilai-nilai luhur budaya masyarakat Indonesia yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara serta umat manusia dalam pemahaman dan perkembangan lingkungan dinamika global.

III. Pokok-pokok Materi Perkuliahan

1. Mengenal Filsafat
1.1 Pengertian Filsafat
1.2 Objek Filsafat
1.3 Metode Filsafat
1.4 Peranan dan Tujuan Filsafat

2. Cabang-cabang Filsafat

2.1 Epistemologi
2.2 Metafisika
2.3 Logika
2.4 Etika
2.5 Estetika

3. Aliran-aliran Filsafat

3.1 Idealisme
3.2 Rasionalisme
3.3 Materialisme

IV. Metode Perkuliahan

1. Ceramah
2. Tanya Jawab
3. Diskusi
4. Tes Kemampuan
5. Penulisan Makalah

V. Evaluasi

1. Akumulasi dan proporsi kehadiran
2. Tes Kemampuan
3. Makalah atau laporan kajian buku
4. Keaktivan dalam diskusi
5. Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester

Daftar Buku Rujukan

Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Gramedia: Jakarta

Baker, Anton & Achmad Charris Zubair. 1990. Metode Penelitian Filsafat. Kanisius: Yogyakarta

Beerling, R.F..1966. Filsfat Dewasa Ini. Balai Pustaka: Jakarta

Craig, Edward. 2002. Philosophy; A Very Short Introduction. Oxford University Press: New York

Hamersama, Harry. 1995. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Kanisius: Yogyakarta

Kattsoff, Louis O..2004. Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono. Tiara Wacana: Yogya

Nagel, Thomas. 1987. What does It All Mean?; A Very Short Introduction to Philosophy. Oxford University Press: New York

OFM, Alex Lanur. 1983. Logika: Selayang Pandang. Kanisius: Yogyakarta

Poedjawijatna. 1990. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Rineka Cipta: Jakarta

Rapar, Jan Hendrik. 2005. Pengantar Filsafat. Kanisius: Yogyakarta

Solomon, Robert C.. 1999. The Joy of Philosophy. Oxford University Press: Neew York

Suhartono, Suparlan. 2004. Dasar-dasar Filsafat. Ar-Ruzz: Yogyakarta

Takwin, Bagus. 2001. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran-pemikiran
Timur. Jalasutra: Yogyakarta

Silabus Mata Kuliah Theory of Literature

SILABUS

UNIVERSITAS: PANCA MARGA
FAKULTAS: SASTRA DAN FILSAFAT
MATA KULIAH: THEORY OF LITERATURE
DOSEN: INDRA TJAHYADI, S.S.
KODE MATA KULIAH:
BOBOT SKS: 2 SKS
JENJANG STUDI: STRATA 1


I. Deskripsi Mata Kuliah

Theory of Literature merupakan mata kuliah yang didesain untuk memperkenalkan mahasiswa pada teori-teori sastra.. Dimulai dengan memperkenalkan pengertian sastra dan teori sastra, kemudian melangkah ke dalam pembicara teori sastra yang dibarengi dengan usaha pengaplikasiannya dalam makalah, baik perorangan ataupun kelompok, lantas ditutup dengan diskusi makalah baik perseorangan atau kelompok.

II. Tujuan Mata Kuliah

Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan:

1. Memahami teori-teori sastra untuk dapat dijadikan landasan pemikiran, perencanaan dan pengembangan ilmu secara akademik dan profesional.

2. Memahami teori-teori sastra untuk mengembangkan diri sebagai ilmuwan maupun sebagai pendidik dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan kuantitatif dan kualitatif maupun perpaduan kedua-duanya dalam konsentrasi bidang studi yang menjadi minat utamanya.

3. Mampu menerapkan teori sastra sebagai dasar pemikiran, perencanaan dan pengembangan khususnya landasan keilmuan dan landasan pendidikan yang dijiwai nilai-nilai ajaran agama dan nilai-nilai luhur budaya masyarakat Indonesia yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara serta umat manusia dalam pemahaman dan perkembangan lingkungan dinamika global.

III. Pokok-pokok Materi Perkuliahan

1. Mengenal Teori Sastra
1.1 Sastra dan Ilmu Sastra
1.2 Pengertian Teori Sastra

2. Teori-teori Sastra
2.1 New Criticism
2.2 Formalisme Rusia
2.3 Strukturalisme dan Struturalisme Genetik
2.4 Fenomenologi dan Respon Pembaca
2.5 Dekonstruksi

IV. Metode Perkuliahan

1. Ceramah
2. Tanya Jawab
3. Diskusi
4. Tes Kemampuan
5. Penulisan Makalah

V. Evaluasi

1. Akumulasi dan proporsi kehadiran
2. Tes Kemampuan
3. Makalah
4. Diskusi
5. Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester

Daftar Buku Rujukan

Baldick, Chris. 2001. The Concise Oxford Dictionary of Literary Terms. Oxford University Press: New York

Carter, David. 2006. Literary Theory. Pocket Essentials: UK

Culler, Jonathan. 1997. Literary Theory; A Very Short Introduction. Oxford University: New York

Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Pusat Bahasa : Jakarta

Eagleton, Terry. 2001. Marxisme dan Kritik Sastraterj. Roza Muliati dkk. Sumbu: Yogyakarta

_____________. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif, terj. Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini. Jalasutra: Yogyakarta & Bandung

Easthope, Antony & Jhon O. Thompson. 1991. Contemporary Poetry Meets Modern Theory. Harvester Wheatsheaf: New York

Fokkema, D.W. & Elrud Kunne Ibsch. 1998. Teori Sastra abad Kedua Puluh, terj. J. Praptadiharja & Kepler Silaban. Gramedia: Jakarta

Goldmann, Lucien. 1981. Method in the Sociology of Literature, tr. William Q. Boelhower. Basil Blackwell: England

Hartoko, Dick & B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Kanisius: Yogyakarta

Junus, Umar. 1988. Karya sebagai Sumber Makna: Pengantar Strukturalisme. Dewan Bahasa dan Pustaka: Kuala Lumpur

Luxemburg, Jan Van, et.al. 1992. Pengantar Ilmu Sastra, terj. Dick Hartoko. Gramedia: Jakarta

Macherey, Pierre. 1990. The Object of Literature. Cambridge University Press: New York

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Rivkin, Julie & Michael Ryan. 2004. Literary Theory, An Anthology. Blackwell Publishing: UK

Sardjono, Partini. 1992. Pengantar Pengkajian Sastra. Pustaka Wina: Bandung

Selden, Rahman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. UGM Press: Yogyakarta

Teeuw, A.. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Gramedia: Jakarta

_________. 1994. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Pustaka Jaya: Jakarta

Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra, trj. Okke K.S. Zaimar, Apsanti Djokosuyatno dan Talha Bachmid. Djambatan: Jakarta

Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta. Gramedia: Jakarta

Wiyatmi. 2006. Pengantar Pengkajian Sastra. Pustaka: Yogyakarta

Silabus Mata Kuliah Bahasa Indonesia 1

SILABUS

UNIVERSITAS: PANCA MARGA
FAKULTAS: SASTRA DAN FILSAFAT
MATA KULIAH: BAHASA INDONESIA 1
DOSEN: INDRA TJAHYADI, S.S.
KODE MATA KULIAH:
BOBOT SKS: 2 SKS
JENJANG STUDI: STRATA 1


I. Deskripsi Mata Kuliah

Mata kuliah Bahasa Indonesia termasuk dalam Mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Ia merupakan mata kuliah yang wajib diberikan di semua jenjang pendidikan dan jalur pendidikan, sebagaimana yang dikemukakan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional dan ditegaskan kembali pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.


Mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang didesain agar mahasiswa dengan menekankan keterampilan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam ranah membaca, berbicara, menyimak, dan menulis karya ilmiah. Sejalan dengan uraian tersebut, maka dalam mata kuliah ini, Bahasa Indonesia yang dipelajari adalah bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan dunia ilmu pengetahuan.


Pentingnya mempelajari bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan karena mahasiswa, sebagai calon sarjana, dipersiapkan tidak hanya untuk menjadi konsumen ilmu pengetahuan melainkan juga sebagai produsen dalam bidang ilmiah. Ia memiliki tugas bukan saja dapat membaca tulisan-tulisan ilmiah, tetapi juga harus mampu menulis sendiri karangan-karangan yang bersifat ilmiah. Oleh karena itu, setiap mahasiswa perlu mengetahuai cara-cara menbuat karangan ilmiah tersebut.


II. Tujuan Mata Kuliah

Mata kuliah Bahasa Indonesia yang diberikan kepada mahasiswa memiliki tujuan umum dan khusus.


II. 1 Tujuan Umum Mata Kuliah Bahasa Indonesia


Diajarkannya mata kuliah Bahasa Indonesia di berbagai universitas dan perguruan tinggi memiliki tujuan umum yang meliputi:


1. Menumbuhkan kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan dapat mendorong mahasiswa memelihara bahasa Indonesia.

2. Menumbuhkan kebanggan terhadap bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan mampu mendorong mahasiswa mengutamakan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambing identitas bangsa.
3. Menumbuhkan dan memelihara kesadaran akan adanya norma bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan agar mahasiswa terdorong untuk menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku.

II. 2 Tujuan Khusus Mata Kuliah Bahasa Indonesia


Selain tujuan umum, Mata kuliah Bahasa Indonesia ini juga memiliki tujuan khusus. Secara khusus mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa, calon sarjana, terampil dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik apakah itu secara lisan, ataupun tertulis, sebagai pengungkapan gagasan ilmiah.


III. Garis-garis Pokok Perkuliahan

1. Mengenal Bahasa

1. 1 Pengertian Bahasa
1. 2 Fungsi Bahasa

2. Kedudukan Bahasa Indonesia

2. 1 Pengertian bahasa Indonesia
2. 2 Sejarah Bahasa Indonesia
2. 3 Ragam Bahasa Indonesia

3. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

3. 1 Pengertian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
3. 2 Kaidah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

4. Keberadaan Bahasa Indonesia Ilmiah

4. 1 Pengertian Bahasa Indonesia Ilmiah
4. 2 Ciri Bahasa Indonesia Ilmiah

5. Mengenal Karangan Ilmiah

5. 1 Pengertian Karangan Ilmiah
5. 2 Tujuan Penulisan Karangan Ilmiah
5. 3 Ragam Karangan Ilmiah

IV. Metode Perkuliahan

1. Ceramah

2. Tanya Jawab
3. Diskusi
4. Tes Kemampuan
5. Penulisan Makalah

V. Evaluasi

1. Akumulasi dan proporsi kehadiran

2. Tes Kemampuan
3. Makalah dan laporan kajian buku
4. Keaktivan dalam diskusi
5. Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester

Daftar Buku Rujukan

Alisjahbana, S. Takdir. 1986. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Dian Rakyat: Jakarta

Arifin, E. Zaenal & S. Amran Tsasai. 1996. Cermat Berbahasa Indonesia. Akapres: Jakarta

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Rineka Cipta: Jakarta

Djuharie, O. Setiawan. 2001. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi. Yrama Widya: Bandung

Keraf, Gorys. 1989. Tata Bahasa Indonesia. Nusa Indah: NTT

___________. 1997. Komposisi. Nusa Indah: NTT

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Lisnguistik (Edisi Ketiga). Gramedia: Jakarta

Mustakim. 1994. Membina Kemampuan Berbahasa: Panduan ke Arah Kemahiran Berbahasa. Gramedia: Jakarta

Nazar, Noerzisri A.. 2004. Bahasa Indonesia dalam Karangan Ilmiah. Humaniora: Bandung

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Balai Pustaka: Jakarta

Putrayasa, Ida Bagus. 2006. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Refika Aditama: Bandung

Rahayu, Minto. 2007. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. 2007. Grasindo: Jakarta

Samsuri. 1991. Analisis Bahasa. Penerbit Erlangga: Jakarta

Surakhmad, Winarno. 1988. Paper, Skripsi, Thesis, Disertasi: Buku Pegangan. Tarsito: Bandung

Suwignyo, Heri & Anang Santoso. 2008. Bahasa Indonesia Keilmuan. UMM Press: Malang

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Balai Pustaka: Jakarta